Buruh Menolak, Pengusaha Setuju Kenaikan Upah 8% Tahun Depan
- Inlander…Inlander
- Jaga Wibawa Presiden
- Mahasiswa Kedokteran ini Bisnis Cuci Sepatu, Kini Sudah Punya 19 Gerai Sendiri
- Ajal Surat Kabar di Indonesia Makin Dekat, Siapa Menyusul Setelah Sinar Harapan?
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, alasan mendasar buruh menolak kenaikan UMP tersebut karena tidak setuju bila kenaikan upah mengacu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang Pengupahan.
“Pertama KSPI dan mayoritas seluruh buruh menolak peraturan pemerintah nomor 78/2015 sebagai acuan formulasi kenaikan upah. Karena dasar hukum formulasi kita tolak, kenaikan upah 8,03% kita tolak juga,” katanya kepada detikFinance, Rabu (17/10/2018).
Alasan kedua, pihaknya menolak karena berdasarkan hasil survei kebutuhan hidup layak (KHL) yang mereka lakukan di Jakarta, Bekasi dan Tangerang, upah layak adalah Rp 4,2 juta sampai Rp 4,5 juta. Survei tersebut dilakukan selama 3 bulan berturut-turut hingga Oktober ini.
Ditempat berbeda, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Antonius J. Supit menyampaikan, kenaikan UMP yang mengacu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang Pengupahan, sudah tepat. Kenaikan UMP itu berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
“Ya itu kan karena kita tunduk kepada PP 78 yang sudah mengatur bahwa dalam periode 5 tahun itu dasar kenaikannya seperti itu, jadi kita setuju,” katanya kepada detikFinance, Jakarta, Rabu (17/10/2018).
Dia menilai kondisi sekarang ini dibutuhkan kepastian untuk investor agar mau berinvestasi di Indonesia. Itu ujung-ujungnya akan menciptakan lapangan pekerjaan baru. Kenaikan UMP sesuai hitung-hitungan dalam PP 78 dinilainya sudah cukup memberi kepastian.
Oleh karenanya, menurut dia kenaikan UMP harus melihat dari segala aspek, bukan sekedar kepentingan buruh maupun pengusaha saja. Melainkan untuk mendorong terciptanya lapangan kerja dengan adanya kepastian kenaikan upah.