Jejak Ulama Tionghoa dan Kampung Arab Melayu di Jambi

Inilahjambi– Libur Lebaran telah tiba, jika tengah berkunjung ke Jambi, tak ada salahnya menyempatkan diri datang ke sebuah kampung paling bersejarah di daerah ini. Lokasinya berada di Kelurahan Tahtul Yaman, Kecamatan Pelayangan Seberang, Kota Jambi atau biasa disingkat Sekoja.

Oleh orang Jambi kampung ini biasa juga disebut Kampung Arab Melayu. Kampung Arab Melayu menjadi salah satu kampung tertua di Jambi. Lokasinya tak jauh dari Kota Jambi, hanya dibatasi oleh sungai terpanjang di Sumatera, sungai Batanghari.

Namun dengan dibangunnya jembatan pedestrian, pengunjung akan lebih mudah bertandang ke Kampung Arab Melayu dengan berjalan kaki melintasi jembatan. Namun bila ingin merasakan sensasi perahu tradisional yang biasa disebut ketek, bisa menyewa dengan harga Rp 5.000 sampai Rp 10.000 sekali jalan.

Meski berjarak hanya beberapa ratus meter dari Kota Jambi. Pemandangan di Kampung Arab Melayu amatlah kontras. Memasuki kampung ini serasa memasuki zaman Melayu lampau. Sebagian besar rumah warga masih bergaya Melayu, yakni rumah panggung dengan tiang tinggi.

Meski dikenal juga sebagai kampung santri, Kampung Arab Melayu merupakan gambaran perpaduan tiga budaya. Yakni Tionghoa, Arab dan Melayu. Jejak-jejak perpaduan budaya ini terlihat dari beberapa bangunan rumah panggung milik warga setempat. Seperti ornamen mirip naga yang diukir di bagian atap dan dinding. Di beberapa bagian lain terdapat tulisan Arab. Sementara adat Melayu terlihat dari gaya panggung rumah. Oleh karenanya, kampung ini juga dikenal sebagai Kampung Pecinan di Jambi.

Dari beberapa catatan maupun sejarawan di Jambi meyakini Kampung Arab Melayu Jambi menjadi komunitas awal tumbuhnya Islam di Provinsi Jambi sejak abad ke-XIII. Di saat yang sama, daerah ini menjadi persinggahan para pendatang dari luar negeri khususnya para saudagar dari etnis Tionghoa maupun Arab. Yang lambat laun menjadikan tumbuhnya akulturasi tiga budaya di kampung ini.

Ridho (33), salah seorang warga Kelurahan Tahtatul Yaman mengatakan, keunikan lain dari kampung ini adalah saat musim Lebaran tiba. Suasana di Kampung Arab Melayu Jambi begitu tenang dan damai. Usai Salat Id, warga saling bersilaturahmi. Rumah-rumah para tokoh agama atau orang tua menjadi yang paling pertama dikunjungi.

“Hidup bersama beratus-ratus tahun sejak nenek moyang kami. Tak pernah ada konflik dengan etnis lain. Kami hidup damai bersama,” ujar Ridho seperti dikutip dari liputan6.com.

Hampir semua warga di kawasan Kampung Arab Melayu mengenal nama Datuk Sintai. Ia diyakini sebagai pembawa agama Islam pertama kali di Jambi sejak 400 tahun lalu. Berdasarkan penuturan salah seorang tetua bernama Hamid Fauzi atau biasa disapa Datuk Hamid pada 2015 lalu, Datuk Sintai adalah ulama mualaf keturunan Tionghoa.

Pada masa hidupnya, Datuk Sintai ikut membantu perjuangan kerajaan Melayu Jambi. Ia kemudian diberikan daerah Pecinan di daerah Seberang Kota Jambi. Ia bahkan dinikahkan dengan salah seorang puteri bangsawan raja Melayu Jambi kala itu.

Kelak, putri Datuk Sintai dinikahkan dengan salah satu ulama kondang di Jambi bernama Sayid Husin bin Ahmad Baragbah. Menantu Datuk Sintai ini merupakan pesiar Islam di Jambi yang diyakini sebagai keturunan ke-27 dari Sayyidin Husin yang merupakan cucu dari Nabi Muhammad SAW. Bahkan makam Sayid Husin yang juga berada di daerah Sekoja sudah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah setempat.

“Jadi beliau (Datuk Sintai) memang berasal dari Cina. Oleh karenanya, sebagian daerah di Arab Melayu ini juga dikenal sebagai Kampung Pecinan,” ujar Datuk Hamid.

Saat Lebaran tiba, makam Datuk Sintai yang terletak di komplek pemakaman Kampung Arab Melayu ramai dikunjungi peziarah. Selain makam Datuk Sintai ada beberapa makam lain yang diyakini sebagai keturunannya.

 

 

(Sumber: liputan6.com)

Terima kasih telah membaca Inilahjambi.com. Cantumkan link berita ini bila Anda mengutip seluruh atau sebagian isi berita. Laporkan keluhan dan apresisasi Anda terkait konten kami ke email:[email protected]

Tinggalkan Balasan

SOROTAN