Sontoloyo, Dulu Menteri Kini Politisi

BERITA JAMBI TERKINI

Sontoloyo, Dulu Menteri Kini Politisi

Baca juga:

Inilah JambiSepuluh tahun lalu, jagat politik di tanah sempat geger karena kata ‘Sontoloyo’. Kala itu, pemicunya adalah Kepala BIN Syamsir Siregar. Dia rupanya tak tahan melihat kemunafikan segelintir menteri dari parpol penyokong SBY-JK terkait kenaikan harga BBM. Di dalam rapat kabinet semuanya seia-sekata, premium naik 28,7 persen, tapi begitu di parlemen cerita nya menjadi lain.

“Saya menyesalkan menteri dari parpol yang mengusung pemerintah dalam rapat kabinet setuju naik BBM. Eh, tiba-tiba di DPR lain bicaranya,” kata Syamsir menjawab wartawan seusai mengikuti peringatan hari Antinarkoba di Istana Negara, 26 Juni 2008.

Perilaku dan tindak laku anggota kabinet ini, dia melanjutkan, secara etika tidak apik dalam menata pemerintahan yang baik. “Kalau rapat kabinet sudah putus, kok di luar ngomongnya lain. Sontoloyo!” ujar Syamsir dengan suara meninggi.

Saat didesak siapa oknum menteri yang dimaksudnya, Syamsir yang biasa disapa Opung tak mau menyebutkannya. Toh begitu, dia tak menyembunyikan rasa jengkelnya. “Kalau aku presidennya, chaoow dia.”

Kini, 10 tahun berselang, Presiden Joko Widodo melihat indikasi serupa. Tapi bukan di level menteri, melainkan para politisi yang menyebut diri kelompok oposisi. Pemicunya adalah polemik Dana Kelurahan.

Program itu bukan semata-mata dari Jokowi, tapi justru disampaikan para wali kota yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) dalam pertemuan di Istana Bogor, 23 Juli 2018. Sejak era reformasi, para kepala daerah termasuk wali kota tentu berasal dari banyak partai politik. Wali Kota Bogor Bima Arya yang menjadi wakil ketua Apeksi berasal dari Partai Amanat Nasional. Dia ikut memberikan testimoni ikhwal asal-usul dana kelurahan.

Jauh sebelumnya, Dewan Perwakilan Daerah bersama Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan menyepakati perlunya ada dana kelurahan dalam rapat pada 25 Agustus 2016. Kesepakatan itu dipicu oleh kecemburuan pada wali kota pasca disahkannya UU Pemerintahan Daerah dan UU Desa pada 2014. Kedua UU tersebut mengesampingkan kelurahan sebagai bagian elemen kota dari gerojogan dana puluhan triliun dari Pusat. Padahal sejatinya, di kelurahan pun menghadapi persoalan tak kalah kompleks dengan desa.

Lalu pada 17 Oktober 2018, tercapai persetujuan antara pemerintah dan Badan Anggaran DPR untuk mengalokasikan Rp 3 triliun dana desa bagi dana kelurahan. Dana itu diambil dari Dana Desa yang semula jumlahnya sebesar Rp 73 triliun.

Dalam pembahasan tersebut, tentu para politisi yang mewakili parpol di kedua kubu hadir. Karena itu dua hari kemudian, mengungkapkan ke publik bahwa dirinya akan memberikan Dana Kelurahan mulai 2019. Tapi para politisi di kubu oposisi kemudian menyikapinya cenderung negatif. Mereka berlagak pilon, tak tahu-menahu proses pembahasan yang sudah berjalan. Lalu menyuarakan nada minor seolah Dana Kelurahan terkait Pilpres 2019.

“Itulah kepandaian para politikus, mempengaruhi masyarakat. Hati-hati, saya titip ini, hati-hati. Banyak politikus yang baik-baik, tapi juga banyak politikus yang sontoloyo,” ujar Jokowi masygul.

Kemarin, dia secara lebih detail menjelaskan bahwa politisi sontoloyo yang dimaksudnya adalah mereka yang lebih mengedepankan adu domba, pecah belah, dan kebencian.

Jokowi ingin kampanye pemilu ke depan dilakukan dengan adu program, kontestasi program dan gagasan, adu prestasi. “Kalau masih pakai cara-cara lama seperti politik kebencian, politik adu domba, pecah belah, itu namanya politik sontoloyo.”

***

Sejumlah sumber menyebutkan, kata “sontoloyo” awalnya bermakna biasa saja dalam kultur Jawa. Kata itu merujuk profesi penggembala bebek. Tapi entah siapa yang memulai dan kapan persisnya, kemudian berubah makna menjadi umpatan. Di tahun 1930-an, Sukarno muda telah memperkenalkan kata “sontoloyo”sebagai umpatan dalam sebuah suratnya kepada A. Hasan, tokoh Persis di Bandung. Surat itu kemudan dihimpun menjadi sebuah buku berjudul “Islam Sontoloyo”

Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) mencantumkan lema “sontolojo”, berarti “bodoh sekali” atau “dungu”. Sementara di Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976), kata itu dimaknai “kurang baik seperti konyol, tidak beres, bodoh.” Begitu pun Tesamoko: Tesaurus Bahasa Indonesia (2016) susunan Eko Endarmoko, memberikan sinonim sontoloyo dengan brengsek dan konyol.

Meski tak jelas siapa yang memulai dan kapan persisnya umpatan tersebut muncul, yang pasti kemudian amat popular. Digunakan oleh banyak pihak dari berbagai strata. Mantan Ketua PP Muhammadiyah yang juga pernah menjadi Ketua MPR, Prof Amien Rais pun pernah menggunakannya untuk mengumpat Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama.

“Si Ahok ini memang sontoloyo, dia nggak tahu agama. Ahok itu belajar Islam yang bener dulu ya!,” kata Amien di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, 14 September 2016. Dua hari sebelumnya, saat menjadi khatib salat Idul Adha di Jakarta Utara, Amien mengajak warga DKI Jakarta untuk tidak memilih calon gubernur DKI Jakarta yang kerap menggusur.

Ahok yang mendapat umpatan tersebut menanggapinya santai. “Buat apa nanggapi omongan orang sudah tua!”

Sebagai kata umpatan, pada pertengahan 1970-an, kata itu pernah begitu popular dan diabadikan menjadi judul film: Paul Sontoloyo (1974). Film itu dibintangi aktor Kris Biantoro dan Ratmi B-29.

Bila kita mengetikan kata “sontoloyo” di mbah gugel bahkan lebih variatif lagi. Di sana ada informasi soal mahasiswi jurusan sendratari yang menulis tugas akhir tentang Tari Sontoloyo. Di Wonosobo, Jawa Tengah rupanya ada tari tradisional yang menjadi tarian dasar dalam tari Topeng Lengger Giyanti. Tari Sontoloyo ini disebut mengandung ejekan terhadap kerapuhan penguasa dan sekaligus sebagai syiar agama Islam.

Sementara di youtube muncul berderet lagu bertajuk sontoloyo dalam irama rock, campur sari, hingga gending. Salah satunya ada syair dalam Bahasa Jawa berbunyi seperti ini, “Ojo nglokro koyo sontoloyo, yen ngono yen ngono kowe kebajut ngono. Jo sontoloyo jo sontoloyo, tumandang makaryo pamrihi ojo rekoso….”

Sumber Detik.com

Terima kasih telah membaca Inilahjambi.com. Cantumkan link berita ini bila Anda mengutip seluruh atau sebagian isi berita. Laporkan keluhan dan apresisasi Anda terkait konten kami ke email:[email protected]
SOROTAN