Rancangan Undang-undang KUHP Asas Legalitas dalam Pembaharuan Hukum Pidana

Rancangan Undang-undang KUHP Asas Legalitas dalam Pembaharuan Hukum Pidana

Oleh: M. Fakri Vilano Putra


Inilah Jambi – Asas Legalitas (Lex Temporis Delicti) di dalam tempos delicti mengandung asas legalitas yang merupakan asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana. Yang dimaksud dengan asas ini menurut Pasal 1 ayat (1) KUHP adalah ‘suatu perbuatan pidana tidak dapat dikenai pidana selain atas kekuatan peraturan undang-undang pidana yang sudah ada sebelum perbuatan pidana tersebut dilakukan’. Asas legalitas dianggap sebagai pondasi atau pilar utama sistem hukum pidana pada keluarga hukum pidana civil law. Asas legalitas dirumuskan dalam beberapa versi kalimat, seperti: ‘nullum delictum nulla poena sine praevea lege poenali’ (tiada delik, tiada pidana, tanpa undangundang pidana terlebih dahulu) atau ‘nullum crimen nulla poena sine praevea lege’ (tiada kejahatan, tiada pidana, tanpa undang-undang terlebih dahulu). Moeljatno2 mengartikan asas legalitas sebagai “tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan”.

 Terdapat tujuh makna dari asas legalitas menurut Schafmeister dan J.E. Sahetapy yaitu: (i) tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketetuan pidana menurut undang-undang; (ii) tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi; (iii) tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaam; (iv) tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas; (v) tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana; (vi) tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang; dan (vii) penuntutan pidana hanya menuntut cara yang ditentukan undang-undang.

 Dalam doktrin hukum pidana ada enam macam fungsi asas legalitas. Pertama, asas legalitas dirancang untuk memberi maklumat kepada publik seluas mungkin tentang apa yang dilarang oleh hukum pidana sehingga mereka dapat menyesuaikan tingkah lakunya. Kedua, menurut aliran klasik, asas legalitas mempunyai fungsi untuk membatasi ruang lingkup hukum pidana. Sedangkan dalam aliran modern asas legalitas merupakan instrumen untuk mencapai tujuan perlindungan masyarakat. Ketiga, fungsi asas legalitas adalah untuk mengamankan posisi hukum rakyat terhadap Negara. Keempat, asas legalitas itu diharapkan memainkan peranan yang lebih positif, yaitu harus menentukan tingkatan-tingkatan dari persoalan yang ditangani oleh suatu sistem hukum pidana yang sudah tidak dapat dipakai lagi. Fungsi asas legalitas untuk mengamankan posisi hukum rakyat terhadap Negara dan fungsi untuk melindungi anggota masyarakat dari tindakan sewenangwenang pihak pemerintah merupakan dimensi politik hukum dari asas legalitas. Kelima, tujuan utama asas legalitas adalah untuk membatasi kesewenang-wenangan yang mungkin timbul dalam hukum pidana dan mengawasi serta membatasi pelaksanaan dari kekuasaan itu atau menormakan fungsi pengawasan dari hukum pidana itu. Keenam, asas legalitas memberikan kepastian hukum kepada masyarakat mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang. Dengan adanya penetapan perbuatan terlarang itu berarti ada kepastian dalam bertingkah laku bagi masyarakat.

Tujuan dibentuknya asas legalitas adalah agar undang-undang pidana melindungi rakyat dari pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas oleh pemerintah. Asas ini juga berperan untuk memberikan jaminan kepada orang untuk tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum, karena sesuai dengan asas negara hukum, setiap tindakan aparat harus berdasarkan hukum yang berlaku. Ini yang dinamakan fungsi melindungi dari undang-undang pidana. Di samping fungsi melindungi, undang-undang pidana juga mempunyai fungsi instrumental, yaitu pelaksanaan kekuasaan pemerintah tegas-tegas diperbolehkan dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang.

Dalam rangka perlindungan hak-hak warga negara, keberlakuan undang-undang pidana harus dalam batas-batas sebagai berikut: 1. Keharusan menerapkan undang-undang pidana yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan (lex temporis delicti atau existing penal law). Konsekuensinya, kita tidak boleh menerapkan undang-undang yang dibuat setelah perbuatan dilakukan (ex post facto penal law). 2. Larangan mengkualifi kasi perbuatan pidana di luar yang telah dirumuskan oleh undang-undang pidana. Kualifi kasi perbuatan pidana berdasarkan analogi tidak diperbolehkan.

Sampai di sini, undang-undang pidana dianggap sebagai yang terbaik karena keberadaanya dianggap berdasarkan rasio, keadilan, kehendak umum, dan kepentingan umum. Namun dalam kenyataannya bisa saja undang-undang pidana dibentuk berdasarkan kepentingan politik penguasa. Kalau hal ini terjadi maka telah tercipta keterbatasan asas legalitas untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga negara. Keterbatasan asas legalitas yang lain adalah bahwa asas legalitas hanya mampu menjangkau mala prohibita, namun tidak mampu menjangkau crimina extra ordinaria, suatu perbuatan yang patut dipidana, tetapi bukan perbuatan yang dapat dipidana karena tidak dilarang oleh undang-undang pidana, sehingga akan semakin banyak perbuatanperbuatan yang tidak dapat dituntut untuk dan atas nama asas legalitas.

Dengan demikian, keunggulan asas legalitas adalah adanya penghormatan dan jaminan terhadap hak asasi manusia, serta pemberian kepastian hukum kepada setiap orang serta membatasi kewenangan penguasa. Sedangkan kelemahan asas legalitas antara lain sebagai berikut: (a) asas legalitas kurang melindungi kepentingan kolektif (collectiva belangen), karena perbuatan yang dapat dipidana hanyalah perbuata yang dikualifi kasian dalam peraturan perundangundangan tertulis; (b) asas legalitas dapat menjadi halangan bagi hakim pidana untuk menghukum seseorang, meskipun perbuatan seseorang tersebut pada hakikatnya bertentangan dengan hukum yang ada di masyarakat, karena perbuatan tersebut oleh masyarakat dianggap sebagai strafb aar (dapat dipidana), atau mungkin masih bersifat strafwaardig (patut dipidana).

Dalam KUHP-WvS larangan penggunaan analogi adalah implikasi dari asas legalitas. Jadi dilarangnya analogi tidak disebutkan secara eksplisit, melainkan hanya penafsiran yang berkembang di dalam teori yang kemudian termanifestasi dalam praktik. Sementara itu Konsep KUHP justru menyebutkan secara eksplisit dilarangnya penggunaan analogi di dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan “dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi”.

Namun Konsep juga memperluas perumusan asas legalitas secara materiel dengan menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’ yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Jadi dalam hal ini Konsep mengakui adanya delik adat apabila delik itu tidak ada bandingannya atau tidak diatur dalam undang-undang. Walaupun Konsep memberi tempat kepada hukum yang hidup sebagai sumber hukum, namun Konsep juga memberi batas-batas berlakunya hukum yang hidup itu, yaitu sepanjang hukum yang hidup dalam masyarakat itu sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, dan prinsipprinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Jadi rumusan asas legalitas dalam KUHP WvS yang berlaku saat ini hanya mengarah kepada asas legalitas formil. Asas legalitas formil maksudnya adalah segala sesuatu yang secara formal menimbulkan kaidah normatif untuk menuntut suatu perbuatan. Dalam hal ini, sumber hukum pidana hanya undang-undang pidana dan perundang-undangan pidana lainnya. Namun dalam perkembangan di dalam Konsep KUHP Baru terdapat perubahan formulasi, yaitu di samping mengakui adanya asas legalitas formil juga diakui adanya asas legalitas materiel. Asas legalitas formil artinya asas legalitas yang berdasarkan hukum tertulis atau undangundang, sedangkan asas legalitas materiel adalah asas legalitas yang memberikan tempat kepada hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup dan berlaku di masyarakat. Konsekuensi dianutnya asas legalitas materiel ini adalah bahwa hakim dimungkinkan untuk memutus suatu perkara berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Menarik untuk disimak Putusan Mahkamah Konstitusi di mana terdapat disenting opinion oleh anggota majelis hakim yang mengakui adanya hukum adat atau hukum yang hidup dalam masyarakat berikut ini :

1. Walaupun suatu tindakan dilakukan secara formal merupakan tindakan yang sesuai dengan hukum, tetapi tindakan tersebut merupakan perbuatan tercela (reprehensible) yang bertentangan dengan prinsip-prinsip umum keadilan (general principle of justice), maka prinsip-prinsip umum keadilan tersebut dapat mengesampingkan (override) hukum positif (hukum yang berlaku);

2. Walaupun tindakan yang dilakukan merupakan tindakan legal pada waktu dilakukan, tetapi tindakan tersebut begitu tercela (reprehensible) dan menurut kebutuhan keadilan yang lebih tinggi dan memaksa, tindakan tersebut harus diberi ganjaran hukuman (superior and compelling need of justice).

Senada dengan hal tersebut, dasar pemikiran munculnya asas legalitas materiel dikemukakan juga oleh Barda Nawawi Arief berikut ini. “Dasar patut dipidananya perbuatan berkaitan erat dengan masalah sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan. Seperti halnya dengan KUHP (WvS), Konsep tetap bertolak dari asas legalitas formil (bersumber pada undang-undang). Namun, Konsep juga memberi tampat kepada “hukum yang hidup/hukum tidak tertulis” sebagai sumber hukum (asas legalitas materiel). Adapun pedoman/kriteria/ rambu-rambu untuk menentukan sumber hukum materiel adalah sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Secara lengkap asas legalitas yang dirumuskan dalam Konsep adalah sebagai berikut :

1. tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan;

2. dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi;

3. ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundangundangan;

4. berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

Secara yuridis asas legalitas meteriel ini diakui oleh Undangundang Nomor 1 Drt Tahun 1951. Pasal 5 ayat (3) sub b Undangundang Nomor 1 Drt. 1951 disebutkan bahwa “suatu perbuatan menurut hukum yang hidup harus dianggap suatu perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam Kitab HukumPidana Sipil, maka dianggap dengan hukuman yang tidak lebih tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan dasar kesalahan si terhukum”. Bahwa suatu perbuatan menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu”.

Pemberian tempat kepada hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis diakomodir pula oleh Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman khususnya Pasal 50 ayat (1) dan Pasal 5. Pasal 50 ayat (1) berbunyi: “Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Sedangkan Pasal 5 berbunyi “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengkuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Demikian juga halnya dengan Pasal 18B (2) UUD’45 (amandemen ke-2): Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat da prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

Pembaruan hukum pidana dapat dikatakan sebagai rekonstruksi, restrukturisasi, penataan kembali, (bahkan pembentukan). Jika dikaitkan dengan politik hukum pidana, rekonstruksi/restrukturisasi atau penataan kembali sistem hukum pidana (Indonesia) yang mencakup bidang-bidang yang sangat luas. Sebagai suatu sistem hukum, pembaruan hukum pidana mencakup substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukumnya. Adapun alasan pembaruan hukum pidana yaitu sebagai berikut:

1. KUHP dipandang tidak lagi sesuai dengan dinamika perkembangan hukum pidana nasional Indonesia.

2. Perkembangan hukum pidana di luar KUHP, baik berupa hukum pidana khusus maupun hukum pidana administrasi telah menggeser keberadaan sistem hukum pidana dalam KUHP. Keadaan ini telah mengakibatkan terbentuknya lebih dari satu sistem hukum pidana yang berlaku dalam sistem hukum pidana nasional.

3. Dalam beberapa hal telah juga terjadi duplikasi norma hukum pidana antara norma hukum pidana dalam KUHP dengan norma hukum pidana dalam undang-undang di luar KUHP.

Terima kasih telah membaca Inilahjambi.com. Cantumkan link berita ini bila Anda mengutip seluruh atau sebagian isi berita. Laporkan keluhan dan apresisasi Anda terkait konten kami ke email:[email protected]
SOROTAN