Prabowo Baru Diisukan, Jokowi Sudah Meniru Gaya Orba

Teks Sumber: RMOL.CO

Inilahjambi – Dukungan masyarakat kepada Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno semakin besar. Rakyat membludak dan menyambut dengan gegap gempita pada setiap acara yang mereka hadiri. Karena itu tidak heran, serangan kepada pasangan capres-cawapres nomor 02 ini pun kian kencang. Beragam isu negatif disebarkan agar elektabilitas kandidat nomor urut dua ini stagnan bahkan melorot. Salah satunya terkait dengan isu kebangkitan rezim Orde Baru.

Baca lagi : Breaking News: Mantan Rektor Unja Aulia Tasman Meninggal Dunia

Terlebih saat ini, keluarga mantan Presiden Soeharto secara resmi ikut dalam barisan koalisi pendukung Prabowo-Sandi lewat Partai Berkarya. Hal ini semakin menguatkan rival politik menjadikan Orba sebagai amunisi untuk mendegradasi Prabowo.

Padahal sejatinya tidak ada yang ingin kembali ke masa Orba. Meski ada sisi positif, dan menurut saya, mungkin sisi ini yang dikampanyekan Partai Berkarya. Sementara soal demokrasi dan kebebasan, semua pasti mengakui, tidak ada di zaman tersebut, seperti juga masa sebelumnya era Soekarno. Sehingga Buya Syafii Maarif (2004) menyebut Orde Lama (1959-1965) sebagai Rezim Otoriter jilid I dan Orba (1966-1998) Rezim Otoriter jilid II.

Nah, kalau Prabowo kerap dikaitkan dengan Orba, sementara Jokowi selalu dibesar-besarkan sebagai orang yang tidak punya beban masa lalu. Benarkah demikian? Mungkin saja. Tapi malah ada yang menyebut, Jokowi punya beban masa kini karena mengulangi kesalahan-kesalahan rezim Orba.

Dalam perspektif hubungan Islam dengan pemerintah pada masa Orde Baru, setidaknya terdapat dua fase. Konflik dan akomodatif. Fase konflik adalah masa ketika Pemerintah mencurigai, membatasi, bahkan memusuhi umat Islam. Saat itu Soeharto dikelilingi para jenderal dan pejabat sipil dari kelompok abangan dan non muslim yang anti Islam.

Fase konflik ini ditunjukkan mulai Soeharto memimpin. Dia menolak Partai Masyumi yang dibubarkan Soekarno untuk direhabilitasi. Namun mengizinkan pendirian Parmusi sebagai gantinya. Tapi tetap melarang para tokoh Masyumi untuk memimpin. Akhirnya yang memimpin Parmusi adalah Djarnawi Hadikusumo (Ketua) dan Lukman Harun (Sekjen). Keduanya dari Muhammadiyah.

Pada saat Kongres pertama partai tersebut, para delegasi mengajukan tokoh Masyumi yang moderat, Mohammad Roem sebagai Ketua Umum. Djarnawi dan Lukman sepakat. Pihak Pemerintah tidak setuju pergantian kepemimpinan tersebut. Dalam perjalanan waktu, atas rekayasa Ali Moertopo, kepemimpinan Parmusi diambil alih oleh kaki tangannya, Djaelani Naro. Manuver Naro menimbulkan konflik yang membuat Soeharto turun tangan dengan mengangkat, MS Minteraja, yang menjabat sebagai menteri, menjadi Ketua Umum.

Bahkan Soeharto juga menolak izin pendirian Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII) yang diusulkan Proklamator RI, Mohammad Hatta, bersama sejumlah tokoh muda Islam.

Dalam perjalanannya kemudian, jumlah partai dikerucutkan menjadi dua, PPP dan PDI, plus Golkar sebagai mesin kekuasaan Orde Baru selain birokrasi dan ABRI.

Berbagai tindakan kekerasan juga dilakukan militer terhadap umat Islam pada masa itu. Seperti peristiwa berdarah Tanjung Priok dan Talangsari, Lampung. Belum lagi sejumlah rekayasa seperti kasus bom BCA sebagai dalih untuk menangkap tokoh-tokoh Islam yang kritis.

Operasi-operasi intelijen kerap dilakukan pula, seperti memunculkan aksi Komando Jihad, terutama jelang Pemilu untuk mendiskreditkan Islam, juga untuk menjauhkan pemilih dari partai Islam. Karena sejatinya kelompok yang disebut ekstrem kanan itu adalah binaan intelijen yang dilepas kapan dibutuhkan lewat strategi tebar, pancing, dan jaring.

Pemerintah ketika itu juga sering membuat kebijakan yang mengundang konflik dengan umat Islam. Misalnya terkait UU Perkawinan, masalah perjudian di Jakarta, pengakuan aliran kebathinan setingkat dengan agama, penghapusan liburan selama Ramadhan, pelarangan busana muslim bagi siswa Sekolah Menengah dan juga terkait SDSB (Gaffar, 1993).

Soal RUU Perkawinan misalnya, Pemerintah mengajukan rancangan yang sangat mensekulerisasikan undang undang perkawinan dan secara efektif akan menghapus sistem pengadilan agama di Indonesia. Meski diusulkan Departemen Kehakiman, namun pendorongnya berasal dari Ali Moertopo dan think tank-nya, CSIS. Dengan memotong kompas kewenangan Departemen Agama, draf UU ini dibuat tanpa merujuk atau meminta nasihat dari organisasi Islam (Latif, 2013).

RUU ini diprotes yang kemudian mengalami perubahan untuk mengakomodasi aspirasi umat Islam.

Sementara fase akomodatif, yaitu mulai akhir tahun 1980-an. Ketika itu Soeharto menunjukkan kedekatan dan mengakomodasi kepentingan dan aspirasi umat Islam.

Hal ini antara lain ditandai dengan lahirnya UU Peradilan Agama, UU Sisdiknas yang mewajibkan adanya pendidikan agama bagi siswa hingga mahasiswa, pencabutan larangan mengenakan jilbab, keluarga Soeharto naik haji, pendirian Bank Muamalat Indonesia hingga yang fenomenal adalah pembentukan ICMI.

Kalau melihat sejumlah kebijakan dan perlakuan pemerintahan Jokowi selama ini, agaknya ada kemiripan atau malah meniru tindakan otoriter rezim Soeharto pada fase konflik tersebut. Misalnya bagaimana perlakuan pemerintah terhadap para ulama dan aktivis yang kritis. Berbagai cara dan alasan dilakukan untuk menjerat mereka. Bahkan ada yang dituduh makar dan ditangkap tengah malam hingga subuh. Hukum jadi alat politik.

Pemerintah Jokowi juga ditengarai punya andil dalam konflik internal PPP dan Partai Golkar beberapa saat lalu. Bahkan pengacara Hizbut Tahrir Indonesia, Yusil Ihza Mahendera menyebutkan, Perppu Ormas yang ditandatangani Presiden Jokowi lebih kejam dari penjajah Belanda, Orde Lama dan Orde Baru.

Kelompok Islam yang tidak sejalan dengan Pemerintah juga kerap distigmakan dengan Islam radikal, intoleran mengancam kebhinekaan, Pancasila dan NKRI. Saat bersamaan Jokowi giat mengkampanyekan “Saya Indonesia Saya Pancasila”. Persis seperti Soeharto yang juga menggunakan isu Pancasila untuk membungkam Islam politik atau kelompok-kelompok yang menentangnya.

Karena itu jangan sampai asyik menyerang Prabowo dengan isu Orba, ternyata Pemerintahan Jokowi malah meniru dan sudah mempraktikkannya. Temuan Thomas P. Power dari Australian National University dalam tulisannya Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Decline semakin menguatkan sinyalemen tersebut.

Apalagi, seperti disampaikan Rizal Ramli, tokoh yang pernah dipenjarakan Soeharto, terlalu banyak eks Orba di sekitar Jokowi.

Baca lagi : Faye Nicole Jones Artis FTV yang Diduga Chek in Bersama Suami Airin

Sementara tokoh-tokoh Orba antara lain Wiranto, Luhut Panjaitan, dan Hendropriyono mengitari Jokowi, Prabowo justru dikelilingi orang-orang baru bahkan anak-anak muda reformis. Seperti Sandiaga yang langsung diminta menjadi wapres dan Dahnil Anzar Simanjuntak, mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah yang juga aktivis anti korupsi dan gerakan sosial, sebagai Koordinator Jubir Prabowo-Sandi.

Terima kasih telah membaca Inilahjambi.com. Cantumkan link berita ini bila Anda mengutip seluruh atau sebagian isi berita. Laporkan keluhan dan apresisasi Anda terkait konten kami ke email:inilahjambi@gmail.com
SOROTAN