Hitung Dulu Bulu Kaki Saya, Langkahi Mayat Saya, Jika Hendak Mengislamkan Bali

Inilahjambi, JAMBI – Anggota DPD utusan Bali, I Gusti Ngurah Arya Wedakarna mengatakan, saat ini kelompok minoritas lebih kreatif dibandingkan kelompok mayoritas. Dia mencontoh Israel yang hidup di tengah-tengah bangsa Arab.

“Ke depan Bali bisa jadi seperti Israel, karena Bali bisa memenuhi unsur seperti itu,” kata Wedakarna dalam acara dialog terkait isu pembentukan desa wisata syariah di Denpasar, Bali, Kamis 26 November 2015 seperti dikutip Republika Online.

Kegiatan yang dihadiri berbagai tokoh Hindu dan berbagai eksponen umat Hindu di Bali, berlangsung di aula Bank Indonesia Denpasar.

Menurut Wedakarna, unsur-unsur yang dimaksudkannya adalah, pertama DNA orang Bali adalah orang Majapahit yakni orang Jawa yang tidak ingin disyahadatkan oleh Walisongo.

Selain itu, Wedakarna menyebut orang Bali punya jiwa puputan, yakni berperang sampai titik darah penghabisan.

“Orang Bali sudah biasa puputan, lewat medan apa pun. Ini bukan retorika, tapi fakta. Sejak sebelum zaman kemerdekaan ada Puputan Badung, Puputan Margarana, Jagara, Puputan Klungkung,” katanya.

Menurut Wedakarna, bila mengacu pada sejarah, orang Bali adalah orang yang pintar-pintar, karena mereka keturunan Majapahit yang berasal dari kalangan bangsawan. Hal itu sebutnya, bisa dilihat dari keturunannya saat ini, yang setiap ujian nasional selalu masuk sepuluh besar.

Wedakarna menegaskan, dalam darah orang Bali ada darah perang. Dia mengatakan leluhur orang Bali memiliki degniti yang hebat. Karena bila melihat dari perjuangan selama 500 tahun menghadapi islamisasi, bukan pekerjaan mudah.

Sampai dalam babad Raja Dalem Waturenggong, kata Wedakarna, disebutkan kalau sang raja telah mengusir Sunan Wali yang ingin mengislamkan Bali.

Saat itu Raja Dalem Waturenggong menantang utusan Walisongo, bila ingin mengislamkan Bali.

“Hitung dulu bulu kaki saya dan langkahi mayat saya, jika hendak mengislamkan Bali,” katanya.

Menurut dia, hampir semua masyarakat Bali berbicara anti syariah. Bahkan dalam sidang BPUPKI pada 1945, utusan Bali I Gusti Ketut Puja, menolak Piagam Jakarta.

“Sekarang ini tampaknya hanya pengulangan sejarah saja. Bukan hal baru. Tapi Indonesia lagi sensitif,” katanya.

 

(Muhammad Ikhlas)

Terima kasih telah membaca Inilahjambi.com. Cantumkan link berita ini bila Anda mengutip seluruh atau sebagian isi berita. Laporkan keluhan dan apresisasi Anda terkait konten kami ke email:inilahjambi@gmail.com
SOROTAN