Taman Budaya Jambi; Mengembalikan Pinang ke Tampuknya Sirih ke Gagangnya

Taman Budaya Jambi
Mengembalikan Pinang ke Tampuknya
Sirih ke Gagangnya

Oleh M Ali Surakhman*


PADA tanggal 14-15 Desember 2021, Taman Budaya Jambi dibawah komando baru Eri Ergawan, membuka gelanggang di Gedung Arena Taman Budaya Jambi.

Gelanggang ini mempertemukan akademisi, pejabat-pejabat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jambi, seniman senior dari segala cabang bidang seni, maestro, dan para budayawan Tanah Pilih Pusako Betuah.

Gelanggang ini bertajuk Saresahan Seni Tradisi. Walau temanya seni tradisi, namun gelanggang ini membicarakan fungsi Taman Budaya dan segala persoalan kebudayaan di Jambi. Mereview kerja-kerja kebudayaan selama ini.

Pertemuan berani ini tak lepas dari kegelisahan tokoh-tokoh budaya yang melihat laju kebudayaan yang melesat cepat, namun kadang kala kebablasan, liar, lari dari alur dan patutnya.

Buah sari kebudayaan adalah nilai-nilai, etika, moral, dan local wisdom, namun tak mengurung dan membelenggu kebebasan bereksperesi. Karena budaya itu berubah seiring waktu dan masanya.

Ini tak bisa kita hentikan, namun tidak mesti meninggalkan akarnya, di mana ia tumbuh, besar, hingga mewaris, jangan sampai tercabut dari akarnya, hingga menjadi kebablasan, hilang estetika, tak punya nilai, apalagi etika dan moral.

Kepala dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jambi M. Arif Budiman saat membuka gelanggang ini mengatakan, silakan memberi masukan dan kritikan kerja-kerja kebudayaan di institusinya.

Pada saresahan ini pembicaranya, Jaffar Rasuh, DR. Sri Punama Syam, Prof. Mahdi Bahar, DR. Sukardi Gao, dan dipandu Nukman. M.hum.

Dari hari pertama diskusi dan dialog sudah alot dan bersuhu tinggi. Ibarat balon yang diisi udara penuh, menunggu ditusuk jarum untuk meledak, ditambah suasana gedung arena, yang dirancang untuk para seniman menumpahkan eksperesinya. Maka gelanggang ini berubah menjadi medan Bratayudha, perang Pandawa dan Kurawa, namun tetap professional dan mengedepankan etika moral.

Para akademisi dan birokrat mesti turun dari menara gading, terjun ke akar rumput sebagai tanggung jawab moral, mengawal, membimbing generasi muda dalam bereksperesi. Dan kerja kebudayaan bukan hanya sebatas pelepas hutang dan tanggung jawab proyek-proyek saja, namun di dalamnya ada tanggung jawab moral. Bukan mengejar kuantitas namun mesti bisa menghasilkan sebuah produk berkualitas dan punya daya saing.

Baca juga:

Kebudayaan itu mesti bisa menjawab persoalan heterogenitas, keberagaman, sebagai pemberi warna dan estetika, namun tak melepas akar dimana ia tumbuh, besar, dan membentuk karakter lingkungan dan ekosistemnya. Hingga ia bisa menjadi pengikat, bukan pemecah, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.

Dari diskusi dan dialog alot ini menghasilkan nota kesepakatan, bahwa dinas dan UPTD kebudayaan mesti membuat juknis, TOR dalam pelaksanaan programnya, dan mesti mengacu pada UU No. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Dan setiap orang, sanggar, dan komunitas mempunyai hak yang sama untuk mendapat fasilitas pertunjukan di Taman Budaya Jambi, namun mesti melewati proses kurasi oleh kurator ahli. Jadi tak ada ketimpangan, atau karena kedekatan.

Dan setiap karya mesti jelas sumber dan akar tradisinya, tanpa mengukung kebebasan bereksperesi senimannya.

Pada hakikatnya kebudayaan mesti kembali ke akarnya, yaitu nilai-nilai
Bukan sekedar simbol-simbol atau seremoni-seremoni saja. Seperti pepatah tua, mengembalikan pinang ke tampuknya, sirih ke gagangnya.

Semoga kita menjadi bangsa yang berjaya.

***

Penulis adalah Budayawan 


 

Terima kasih telah membaca Inilahjambi.com. Cantumkan link berita ini bila Anda mengutip seluruh atau sebagian isi berita. Laporkan keluhan dan apresisasi Anda terkait konten kami ke email:[email protected]

Tinggalkan Balasan

SOROTAN