Titik Tumpu Dalam Momentum Sosialisasi, Study Pilkada 2020 dan 2024

Dr. Noviardi Ferzi & Dr. Dedek Kusnadi

Dr. Noviardi Ferzi & Dr. Dedek Kusnadi

Titik Tumpu Dalam Momentum Sosialisasi, Study Pilkada 2020 dan 2024

Oleh : Dr. Noviardi Ferzi & Dr. Dedek Kusnadi*


Inilah Jambi — Ada beberapa orang teman yang memiliki niatan maju di pilkada 2024 menceritakan rencananya untuk melakukan akselerasi sosialisasinya di masyarakat di Bulan Ramadhan 2022 nanti. Menurut kajian mereka, bulan puasa momentum yang tepat untuk memperbanyak sosialisasi. Meski pilkada masih lama 2024, melewati dua momen Ramadhan di 2023 dan 2024.

Menanggapi niatan ini saya hanya banyak diam, mengapresiasi tapi tidak mengiyakan, bukan karena apa, tapi sebagai suatu hal yang berbasis hipotesis, kewajiban peneliti seperti saya melakukan telaah literatur, baik hasil survei terdahulu maupun proyeksi dari data sekunder yang ada sebelum mengomentari hal itu.

Sudah jamak, di Indonesia termasuk di Jambi, kedatangan bulan suci Ramadhan yang disambut suka cita segenap umat Islam.

Tibanya bulan suci itupun seolah menjadi momen bagi para calon kepala daerah untuk tebar pesona dan promosi. Bulan mulia ini seakan memberi kesempatan bagi mereka untuk menyosialisasikan diri kepada masyarakat, khususnya dengan target umat Islam yang menjalankan ibadan puasa.

Spanduk dan media lainnya berisi ucapan selamat menjalankan ibadah puasa, bertebaran di mana-mana. Namun yang berbeda tahun ini, ucapan selamat tersebut disertai foto para tokoh yang tak lain adalah politisi yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif, baik di tingkat kabupaten, provinsi hingga pusat.

Tahun 2022 ini memang seakan menjadi awal dimulainya tahun politik menjelang pilkada 2024. Tidak heran jika para calon kepala daerah mulai tebar pesona melalui berbagai cara.

Lalu apa hasil kajian saya akan hal itu, tulisan ini mencoba menjawabnya, karena ini disarikan dari berbagai riset pilkada 2020, tentu yang saya sampaikan kesimpulan argumentatip tanpa harus menyebut dimana dan siapa, sebagai proyeksi atau persiapan di 2024.

Sosialisasi pilkada sebenarnya mengariskan pentingnya ritme mengatur tempo. Perjalanan panjang membentuk populeritas dan elektabilitas membutuhkan ritme waktu dalam kontektasi seni dan ilmu. Sebagai seni racikan membentuk populeritas dan elektabilitas bisa dilakukan semua orang, tergantung fokus, sense dan pandangan individu. Sedangkan secara ilmu hal tersebut bisa dipelajari, bisa di rekonstruksi dan dirunut dari berbagai kajian dan literatur.

Lebih jauh sosialisasi juga berfungsi membentuk image kandidat, untuk menanamkan image politik di benak masyarakat dan meyakinkan publik mengenainya, dalam hal ini tindakan sosialisasi yang memanfaatkan momentum Ramadhan bagian dari usaha membentuk image ini, katakanlah ingin mendekatkan dengan pemilih muslim memanfaatkan emosional Ramadhan.

Meski sudah lama Riset Falkowski & Cwalian dan Kaid tahun 1999 masih relevan untuk mengambarkan kegunaan sosialisasi politik, sebagai berikut :

1. Membentuk citra kontestan dan sikap emosional terhadap kandidat

2. Membantu para pemilih untuk terlepas dari ketidak-pastian pilihan karena mempunyai kecenderungan untuk memilih kontestan tertentu.

3. Alat untuk melakukan rekonfigurasi citra kontestan.

4. Mengarahkan minat untuk memilih kontestan tertentu

5. Mempengaruhi opini publik tentang isu-isu nasional

6. Memberi pengaruh terhadap evaluasi dan interpretasi para pemilih terhadap kandidat dan even-even politik

Baca Juga:Mengenal Kitab Oleh Musri Nauli (1)

Untuk mencapai sasaran obyektifnya iklan politik, harus menjawab lima pertanyaan dasar berupa. Pertama, apa pesan tunggal yang paling penting untuk disampaikan kepada para pemilih. Kedua, siapa para pemilih yang dapat dipersuasi untuk memilih anda. Ketiga, metode apa yang paling efektif digunakan agar pesan anda sampai kepada pendukung potensial. Keempat, kapan saat terbaik untuk menyampaikan pesan anda kepada audiens yang dibidik. Kelima, sumberdaya apa yang tersedia untuk menyampaikan pesan kepada audiens yang diinginkan .

Gaya sosialisasi yang efektif di berbagai daerah tentu berbeda karena adanya perbedaan kultur dan momentum (waktu dan peristiwa). Menurut Yukio Nakayama (Benner, 2020), ada delapan kata kunci agar sebuah iklan dapat menyentuh perhatian khalayak:

1. Emosi. Iklan yang mampu menggugah emosi pemirsanya biasanya akan diterima secara lebih utuh oleh khalayak sasaran. Mereka akan lebih mudah menjadi bagian dari iklan yang disajikan.

2. Empati. Dengan upaya membangun empati dalam iklan, pemirsa akan digerakkan untuk berpihak pada pesan yang akan disampaikan. Hal ini bukan suatu hal yang mudah, diperlukan cara penyampaian pesan yang relevan dan dapat dipercaya.

3. Obsesi. Perlihatkan dalam iklan bahwa obsession, dan semangat untuk meraih sesuatu. Konsumen (para pemilih) akan tergerak untuk meraih hal-hal yang positif dan mengalahkan suatu tantangan.

4. Mimpi. Ini merupakan harapan yang selalu hadir dalam kehidupan manusia. Mimpi seringkali menjadi pendorong semangat untuk mencapai sesuatu. Kita selalu mempunyai harapan dan mimpi yang membuat kita selalu menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.

5. Kecerdasan. Konsumen (para pemilih) menghargai kecerdasan yang muncul dari iklan-iklan yang disaksikannya. Pemirsa bukanlah orang-orang yang bodoh, mereka menghargai iklan-iklan yang tampil cerdas dan mampu membuat mereka tertarik.

6. Moral. Sisi moral merupakan bagian penting dari kehidupan anak manusia. Kejelian mengolah hal ini membuat sebuah ikian akan terus dikenang.

7. Realitas. Kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, yang tak dapat kita tolak, membuat iklan betul-betul scbagai realitas. Suatu hal yang nyata dan terjadi di sekitar kita.

8. Tenderness. Sikap kasih dan pengertian merupakan hal penting yang mampu membuat konsumen ikut bersama pesan yang disampaikan.

Dalam bahasa gamblangnya, semua calon kepala daerah yang ingin melakukan sosialisasi politik secara efektip harus mempertimbangkan delapan kunci Yakayama tersebut. Karena ini menjadi frame kerangka acuan bagaimana sosialisasi pilkada dikemas. Berhasil atau tidak sosialisasi indikator faktualnya juga mengacu indikator ini.

Baca Juga: Opini: Degradasi Jurnalis dan Jiwa Korsa yang Mulai Hilang

Lalu, apakah tepat momentum Ramadhan dijadikan titik tumpu akselerasi sosialisasi kepala daerah ?

Tak ada jawaban pasti untuk ini, namun jika mengacu pada eletabilitas sebagai variabel yang dinamis, bisa naik atau turun, secara momentum waktu itu kurang tepat, karena waktu yang masih panjang, dinamika yang bum seutuhnya terbangun, serta titik fokus masyarakat yang belum berpikir tentang pilkada. Dimana semaunya bisa mendorong para calon masuk kepada jebakan elektabilitas yang semu.

Menjaga treatment politik kepada pemilih penting, namun ada yang lebih penting dari itu. Tak lain membangun kohesivitas antara calon dengan sebanyak mungkin dengan personal masyarakat di banyak titik atau lokasi. Membangun jaringan emosional kepada pemilih secara alamiah bukan melalui acara. Disinilah sebenarnya akseptabilitas atau penerimaan calon itu terbentuk. Penerimaan yang menjembatani antara pengenalan dan keterpilihan. Salam.

 

*Peneliti LKPR dan Dosen Pasca Sarjana UIN STS Jambi

Terima kasih telah membaca Inilahjambi.com. Cantumkan link berita ini bila Anda mengutip seluruh atau sebagian isi berita. Laporkan keluhan dan apresisasi Anda terkait konten kami ke email:[email protected]

Tinggalkan Balasan

SOROTAN