Bolehkah Mengurus Mayat Pelacur? Bagaimana Menurut Syariat Islam

Assalamu’alaikum Wr Wb.

Ana minta penjelasan, ada suatu kejadian di lingkungan kami, seorang pelacur/WTS meninggal, kemudiaan dicarikan ust/ustd untuk mengurus pemandian, pengafanan dan penguburannya, namun tidak ada uts/ustd yang mau mengurusnya, sebab masih banyak pemahaman bahwa mengurus jenajah pelacur itu tidak boleh atau bahkan haram, hingga pada akhirnya ada seorang pegawai pengadilan yg menanganinya. yg menjadi pertanyaan kami, bagaimana hukumnya secara syari’at?

Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh..

Zina adalah salah satu dosa besar. Hukuman bagi pelaku yang belum menikah adalah dicambuk seratus kali. Sedangkan bagi pelaku yang telah atau pernah berkeluarga, yaitu dirajam hingga meninggal.

Masalah menshalatkannya, ada dua hadits (dari sekian banyak hadits dalam tema yang sama) yang berkaitan dengan hal ini.

Yang pertama; Diceritakan bahwa ketika Ma’iz bin Malik yang mengaku telah berzina selesai dihukum rajam, dia dishalatkan oleh para sahabat. Namun, Rasul tidak ikut menshalatkannya. Abu Barzah Al-Aslami Radhiyallahu ‘Anhu berkata,

“Sesungguhnya Rasulullah Saw tidak menshalatkan Ma’iz bin Malik, tetapi beliau tidak melarang (para sahabat) menshalatkannya.” [HR. Abu Dawud]

Syaikh Al-Albani berkata tentang derajat hadits ini; Hasan shahih. [Shahih Sunan Abi Dawud/3186]

Kedua; Disebutkan dalam hadits riwayat Imam At-Tirmidzi dari Imran bin Hushain Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya ketika seorang perempuan dari Juhainah (Al-Ghamidiyah) telah mati dirajam karena zina, beliau menshalatinya bersama para sahabat. Umar bin Al-Khathab Radhiyallahu ‘Anhu berkata,

“Wahai Rasulullah, engkau telah merajamnya kemudian engkau menshalatkannya?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya dia telah bertaubat dengan suatu taubat di mana kalau dibagi kepada 70 orang penduduk Madinah niscaya akan mencukupi.”

Imam At-Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadits hasan shahih.”

Setelah menampilkan hadits ini, Syaikh Al-Mubarakfuri berkata, “Ini adalah nash yang sangat jelas bahwa bahwa beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menshalati Al-Ghamidiyah.” [Tuhfatul Ahwadzi]

Dalam dua hadits di atas, ada perbedaan dan kesamaannya. Bedanya, pada hadits pertama Nabi tidak menshalatkannya, sementara pada hadits kedua disebutkan bahwa beliau menshalatkannya. Adapun kesamaannya, jenazah orang yang berzina tetap dishalati dan diperlakukan sebagaimana jenazah kaum muslimin yang lain.

Bapak Saiful Bahri yang dirahmati Allah.. Pertanyaan antum berkaitan dengan hukum mengurus mayat orang yang melakukan perbuatan dosa besar; memandikan, mengafani, menshalatkan, dan menguburkan. Dalam hal ini, terdapat sedikit perbedaan pendapat para ulama.

Menurut madzhab Hanafi: Jenazah pelaku dosa besar selain pemberontak dan begal jalanan (perompak) dishalatkan oleh imam dan kaum muslimin. Sebagian ulamanya ada yang menambahkan, bahwa jenazah orang yang mati bunuh diri juga tidak dishalatkan. [Al-Haddadi dalam Al-Jauhar An-Nirah]

Menurut madzhab Maliki: Orang yang mati bunuh diri dan orang yang mati karena hukuman tidak dishalatkan oleh imam dan tokoh agama, agar menjadi peringatan bagi yang lain. Adapun selain imam dan tokoh agama, boleh menshalatkan bahkan mereka diperintahkan untuk menshalatkan. [Ibnu Abdil Barr dalam Al-Istidzkar]

Madzhab Syafi’i: Imam dan kaum muslimin boleh menshalatkan semua pelaku dosa besar –apa pun– tanpa kecuali. [An-Nawawi dalam Al-Majmu’]

Sedangkan menurut madzhab Hambali: Imam dan kaum muslimin menshalatkan jenazah pelaku dosa besar. Tetapi, untuk orang yang melakukan ghulul (menilep harta rampasan perang sebelum dibagi), imam tidak turut menshalatkan. [Al-Mirdawi dalam Al-Inshaf]

Dalam Fatwa Lajnah Da’imah disebutkan, “Shalat jenazah hukumnya fardhu kifayah, dilaksanakan atas setiap orang yang secara lahirnya meninggal dalam keadaan muslim, sekalipun dia adalah pelaku dosa besar selain syirik.” [Fatwa nomor 7731]

Kesimpulannya: Hukum mengurus jenazah pelacur, selama dia seorang muslimah, adalah fardhu kifayah. Jadi, jenazahnya –meski pelacur– tetap harus dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan, sebagaimana jenazah kaum muslimin yang lain. Wallahu a’lam bish-shawab.

Dijawab oleh: Ustad Abduh Zulfidar Akaha.

 

(BUDHIONO)

 

sumber : Hidayatullah.com

 

Terima kasih telah membaca Inilahjambi.com. Cantumkan link berita ini bila Anda mengutip seluruh atau sebagian isi berita. Laporkan keluhan dan apresisasi Anda terkait konten kami ke email:[email protected]
SOROTAN