Ghulam Muhiddin, Korban Tragedi Kerusuhan Maluku 1999 Ingin Jadi Dai dan Hafidz
Ghulam Muhiddin, Korban Tragedi Kerusuhan Maluku 1999 Ingin Jadi Dai dan Hafidz
Baca juga:
- “UAS Sebaiknya Tetap Istiqomah Sebagai Pegiat Dakwah dan Pendidikan”
- Tutup MTQ di Batanghari, Sekda Imbau Masyarakat Pelajari dan Amalkan Nilai Alquran
- Fachrori: MTQ Syiar Membumikan Alquran
Inilah Jambi– Tragedi kerusuhan Maluku pada tahun 1999 telah merenggut masa kanak-kakak Ghulam Muhiddin. Kala itu, usianya Ghulam baru menginjak usia tiga tahun yang seyogyanya dilalui dengan canda dan bersenda gurau dengan teman-teman sebayanya.
Sebaliknya, kala itu, hidup dipenuhi dengan kecekaman, ketegangaan dan kecemasan. Ketika kerusuhan berkecamuk, ia bersama sang bunda tercinta diungsikan oleh ayahnya ke rumah sang kakek yang berada agak berjauhan dengan tempat tinggal keluarganya.
Tak disangka, peristiwa itu menjadi pertemuan terakhirnya dengan sang ayah, Abdul Aziz. Sebab setelah itu, tersebar berita kalau sang ayah telah meninggal dalam korban kerusuhan berlatar belakang agama ini.
“Ada saksi hidup yang pernah bercerita kepada saya, kalau ayah dibunuh dengan cara ditebas pedang,” ujarnya menirukan kisah saksi dengan mata berkaca-kaca, seperti dikutip Hidayatullah.com
Peristiwa memilukan yang menimpa sang ayah, ternyata bukan akhir dari segalanya. Karena kondisi keamanan tempat sang kakek juga sudah tidak aman, ia bersama sang ibu lari ke tengah hutan.
Namun takdir Allah berkata lain. Justru di persembunyian itulah, sang kakek harus merenggang nyawa di hadapannya, karena tertangkap oleh para perusuh. Takdir Allah, Ghulam, demikian ia akrab disapa, mengaku selamat dari pembunuhan, karena waktu itu ia menggunakan pakaian anak wanita.
“Jadi yang menjadi sasaran pembantaian adalah laki-laki, baik itu dewasa maupun anak-anak. Beruntungnya waktu itu saya menggunakan baju anak perempuan. Jadi mereka pikir, saya cewek sehingga dibiarkan hidup,” jelasnya.
Pengalaman pahit massa lalu itu masih terngiang hingga saat ini.
“Terutama tentang pembunuhan kakek, karena terjadi di depan mata saya langsung. Bagaimana mereka menombak beliau dari belakang, kemudian mencincangi tubuhnya,” ucapnya dengan sesekali mengusap matanya yang mulai meleleh.
Petuah Sang Bunda
Kini, sudah lebih 16 tahun peristiwa buruk itu terjadi. Usia Ghulam bukan bocah lagi. Ia telah menginjak 19 tahun dan tengah melanjutkan studi di salah satu Perguruan Tinggi Islam Swasta di Kota Pahlawan, Surabaya.
Remaja asal Tobilo Barat, Halmahera Utara ini menjelaskan, bahwa ibunyalah yang menjadi spirit utamanya dalam menuntut ilmu. Sebab, meski tidak berpendidikan tinggi, sang bunda acap menasehatinya agar terus semangat menuntut ilmu.
“Ibu sering sekali membacakan sebuah qaul hikmah yang menyatakan ‘Al-Ilmu bilaa ‘amalin ka sajarin bilaa tsamarin’ (Ilmu yang tidak diamalkan bagaikan pohon yang tidak berbuah),” ujarnya menirukan pesan ibunya.
Karena itu, Ghulam meyakini, hanya dengan ilmulah kemuliaan hidup seseorang akan terangkat. Dan ilmu pulalah pemandu hidup manusia. Menurut pengakuan pemilik kulit sawo matang ini, pesan orang tuanya inilah yang menjadi pemacunya untuk terus giat menuntut ilmu.
Beberapa kali ia mengalami kejemuan. Namun ketika wajah dan pesan sang bunda muncul, gelora belajarnya spontanitas tumbuh kembali.
“Dan itu cukup mujarab untuk menjaga motivasi belajar,” terangnya.
Asa ke Depan
Selain ingin membahagiakan sang bunda dan keluarga, ada beberapa mimpi lain yang melatari sulung empat bersaudara ini gigih menuntut ilmu di pulau Jawa.
“Saya ingin, suatu hari kelak, terutama kalau proses belajar telah usai, kembali ke tempat asal, Tobilo, Maluku Utara dan menjadi dai di sana,” ungkapnya.
Ghulam mengaku terpanggil dengan kondisi kampung halamannya yang banyak memerlukan para dai.
“Bukan menjadi pemandangan aneh lagi, kita menyaksikan para remaja putri merokok. Belum lagi masalah penyakit sosial lainnya, seperti minum-minuman keras dan perzinaan,” katanya.
Ia sendiri, katanya, pernah menjadi korban kenakalan teman-teman seusianya. Pernah ia dipaksa dengan cara menyumpal beberapa rokok agar ia bisa menghisap.
“Jadi itu mimpi saya di masa depan, menjadi dai di sana, guna membantu masyarakat,” tuturnya.
Selain itu ada satu lagi harapan yang tengah dikejar pengidola Amirul Mukminin Abu Bakar Ashiddiq ini. Ia ingin menjadi seorang hafidz (penghafal Al-Quran) dengan baik dan mengamalkannya.
“Saya ingin memberikan syafaat kepada kedua orang tua saya, kelak di akhirat,” ucapnya.
Ia menyitir sebuah hadits tentang kemuliaan seorang hafidz al-Qur’an, kelak di akhirat, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud, yang pernah ia dapatkan dari seorang ustadz semasa masih belajar di pesantren Tobilo.
Yang artinya, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “Barangsiapa membaca Al-Qur’an dan beramal dengan apa yang terkandung dalamnya maka kedua dua ibu bapaknya akan dipakaikan mahkota pada hari kiamat yang sinar mahkota itu akan melebihi daripada cahaya matahari, walaupun matahari itu berada didalam rumah-rumah kamu di dunia ini.”
“Al-Hamdulillah, saat ini saya tengah dalam proses memasuki hafalan juz yang ke empat. Semoga diberi kemudahan,” doanya. Amiin.
(*/)