Jambi Sebagai Kota Dagang

Jambi Sebagai Kota Dagang

  • Judul yang dipaparkan merupakan subjudul dari SEJARAH SOSIAL

Oleh Musri Nauli


JAMBI Sebagai Kota Dagang dari proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Depdikbud, 1984.

Didalam buku kemudian diterangkan Jambi dalam lintasan sejarah sebagai bandar Niaga Melayu dalam periode Kerajaan Melayu Jambi.

Pada zaman keemasan abad XIV, Jambi yang terkenal sebagai bandar Niaga Melayu Jambi adalah tempat pelabuhan ekspor rempah-rempah seperti lada, cengkeh, karet dan hasil Bumi lainnya.

Dalam tulisannya, Dedi Arman menerangkan sejarah panjang Lada di Jambi. Dengan mengutip sejarawan Gusti Asnan, buku Barbara Watson Andaya, Hidup Bersaudara, Sumatera Tenggara Pada Abad XVII dan XVIII, M.A.P Meilink Roelofsz dalam bukunya Perdagangan Asia & Pengaruh Eropa di Nusantara, perdagangan lada di Jambi pada abad ke XVI- XVIII, Buku Lindayanti, Junaidi T. Noor, Ujang Hariadi, Jambi Dalam Sejarah 1500-1942, A.B Lapian dalam tulisannya Jambi Dalam Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Masa Awal, Jambi Dalam Lintasan Sejarah Melayu (Abad I-XVII) (Anastasia Wiwik Swastiwi, Sejarah Sumatra (William Marsden), ada sudah masuk ke Indonesia sejak abad ke-6 melalui Pulau Jawa dan Sumatera. Di Indonesia, lada mendapat sebutan nama baru merica yang diambil dari bahasa sansekerta.

Salah satu jenis lada, yaitu kemukus telah dikenal sebagai barang ekspor dari Palembang dan Jambi dan jadi primadona di pasar Cina dan nusantara pada abad ke VIII. Lada (piper nigrum) bukan berasal dari nusantara, melainkan dari barat daya India. Merica jenis ini tak tumbuh alami melainkan dibudidayakan. (Wiiliam Marsden, 2008).

Adanya perdagangan lada di Jambi menyebabkan pendatang merantau ke Jambi, diantaranya orang Minangkabau, Bugis, Arab, Cina dan suku-suku lainnya di Indonesia.

Lebih lanjut diterangkan, Lada di Jambi dihasilkan di daerah hulu. Produsen utama lada di Jambi adalah orang-orang Minangkabau yang tinggal di sepanjang Sungai Batanghari, khususnya di dua distrik yaitu Tanjung dan Kuamang, federasi Kota Tujuh (VII Koto) dan Sembilan Kota (IX Koto).

Lada juga ditanam di aliran sungai Muaro Ketalo dan sepanjang aliran sungai Tembesi dan Merangin. Kerinci juga dikenal daerah penghasil lada.

Mengutip dari Tom Pires, Dedi Arman menerangkan, sejak awal abad XVI, Jambi dikenal sebagai penghasil emas dan mungkin hal inilah yang mendorong orang Minangkabau datang ke VII Koto dan IX Koto

Lada di Pelabuhan Jambi tak hanya datang dari daerah Hulu Jambi, tapi juga dari daerah wilayah yang termasuk daerah penyangga Kesultanan Jambi. Lada yang masuk ke Jambi datang dari berbagai daerah di Sumatra, terutama dari Minangkabau.Lada dibudidayakan di kaki perbukitan pegunungan Bukit Barisan. Hasil lada dari Minangkabau dibawa ke hilir menggunakan transportasi sungai.

Ada dua pola perdagangan lada di Jambi. Pertama, pola perdagangan lada dari daerah produksi di hulu dibawa ke hilir (Pelabuhan Jambi). Kedua, lada dari hulu tak dibawa ke hilir melainkan dibawa melalui jalur alternative.Dari hulu dibawa ke Muaro Tebo (Dijuluki Malaka Kecil) yang nantinya dibawa ke Selat Malaka melalui Indragiri dan Kuala Tungkal.

Letak Pelabuhan dari pendekatan geografis sangat ideal dan memegang posisi vital dalam hubungan laut Tiongkok dan India. Jalur distribusi jalan perdagangan laut perniagaan asia.

Letak dan posisi strategis dan terletak diujung selatah Malaka adalah jalur terpendek perniagaan lagu dari Tiongkok ke Selat Malaka.

Catatan I’ Tsing dengan jelas menunjukkan rute Tiongkok – India yang harus melalui jalur kerajaan Melayu Jambi. Pelabihan menjadi tempat persinggahan kapal bresar dari Selat Malaka Menuju Tiongkok dan sebaliknya. Kapal India, Persia dan Arab singgah di Pelabuhan Melayu. Sembari menunggu angin timur laut.

Sungai Batanghari yang kemudian bermuara ke Selat Malaka merupakan jalur distribusi dari pedalaman Jambi.

Sehingga pedagang dari pedalaman Sungai Batanghari yang kemudian melewati Jambi dan terus ke Selat Malaka masih dikenal didalam tutur ditengah masyarakat. Seperti Seloko “Mengilir Berajo Jambi. Lipat pandan balek Ke Rajo Minangkabau”.

Sehingga tidak salah kemudian jalur distribusi melewati Sungai Batanghari dan kemudian bermuara ke Selat Malaka menyebabkan Muara Sabak menjadi pembicaraan dalam catatan-catatan petualang dunia.

Jalur ini kemudian dikenal sebagai jalur pantai timur sumatera.

Tarik menarik dan penguasaan jalur perdagangan distribusi Pelabuhan Melayu Jambi yang begitu strategis di Selat Malaka menyebabkan perang Johor – Jambi (1665-1690). Kerajaan Jambi yang kemudian disebut Kesultanan Jambi mulai terlibat dalam pertempuran dengan Belanda, Portugal dalam kancah menjaga Pelabuhan Melayu Jambi.

Sultan Sri Ingalogo berhasil menutup kantor Serta VOC di Jambi. Belanda kemudian hanya menempatkan VOC di Sumatera di Palembang.

Perlawanan terhadap Belanda diteruskan hingga ke Sultan Thaha Syaifuddin yang naik tahta 1955. Sultan Thaha Syaifuddin yang dianggap memiliki perlengkapan Kesultanan (rijkssierenden) dan kerisi Pusaka Siginjei sebagai tanda kekuasaan dan kebesaran Sultan yang sah oleh rakyat Jambi.

Perlawanan Sultan Thaha Syaifuddin terus menerus menyebabkan terbunuhnya kontrolir van Laar (1891). Kemudian terbunuhnya Komandan Militer (1899). Perlawanan Sultan Thaha Syaifuddin kemudian berakhir 1904.

Begitu strategisnya posisi Pelabuhan Melayu Jambi dalam kancah perdagangan Pantai timur sumatera menyebabkan Jambi sudah lama dibincangkan dalam percaturan global.

Dan tidak dapat dipungkiri mimpi membangun Pelabuhan Samudra di ujung Jabung adalah posisi strategi yang tidak boleh diremehkan.

Musri Nauli, Direktur Media Publikasi Tim Pemenangan Al Haris-Sani.

Tulisan lainnya :

Musri Nauli: Istilah ‘Jambi Kota Seberang’ Tidak Memenuhi Hukum Berbahasa Indonesia

 

Abdullah Sani Pemimpin Betuah

***

 

Terima kasih telah membaca Inilahjambi.com. Cantumkan link berita ini bila Anda mengutip seluruh atau sebagian isi berita. Laporkan keluhan dan apresisasi Anda terkait konten kami ke email:inilahjambi@gmail.com

Tinggalkan Balasan

SOROTAN