Ketua MA: Perilaku Hakim Menentukan Apakah Layak Dipanggil “Yang Mulia”

Ketua MA: Perilaku Hakim Menentukan Apakah Layak Dipanggil “Yang Mulia”


Inilah Jambi – Ketua Mahkamah Agung (MA) Syarifuddin mengatakan, panggilan ‘Yang Mulia’ yang ditujukan kepada hakim bukan untuk dibangga-banggakan.

Panggilan tersebut, menurut Syarifuddin, harus menjadi pengingat bagi hakim bahwa kemuliaan jabatan hakim itu tidak diukur dari kewenangan dan kekuasaannya yang besar, melainkan diukur dari sikap dan perilaku hakim sendiri.

“Sikap dan perilaku kitalah yang akan menentukan apakah kita layak atau tidak dipanggil dengan sapaan ‘Yang Mulia’. Artinya, jika sikap dan perilaku kita tidak lebih baik dari orang-orang yang kita adili, sesungguhnya kita tidak layak menyandang sapaan ‘Yang Mulia’,” beber Syarifudidn dalam sambutan pembukaan ‘Silaturahmi Nasional dengan Pengurus Daerah dan Pengurus Cabang Ikatan Hakim Seluruh Indonesia’ dalam rangka memperingati HUT Ikatan Hakim Indonesia ke-68, Kamis 18 Maret 2021.

“Untuk itu, marilah kita sama-sama merenungkan kembali dan bertanya kepada diri kita masing-masing, apakah kita telah pantas menjadi seorang hakim? Agar kita tidak lupa bahwa kita adalah manusia yang tidak luput dari salah dan khilaf, sehingga dengan kesadaran itu, kita akan berusaha untuk selalu memperbaiki diri,” sambungnya

Pernyataan Syarifuddin itu berkaitan-paut dengan pernyataan sebelumnya tentang peristiwa jalannya sidang dengan terdakwa Habib Rizieq Shihab (HRS).

Dia menilai telah terjadi penyerangan terhadap kehormatan hakim dalam sidang itu.

“Beberapa hari yang lalu telah terjadi lagi peristiwa penyerangan terhadap kehormatan hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang membuat kita semua prihatin,” kata Syarifuddin.

Oleh karena itu, dalam forum itu dia meminta kepada Ikahi agar terus memperjuangkan UU Contempt of Court supaya tidak terjadi lagi tindakan-tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabat hakim.

Syarifuddin juga mengingatkan seorang hakim dilarang saling mengintervensi dan mengomentari perkara yang diadili oleh sesama hakim yang lain. Hakim harus membiasakan diri untuk tidak mengatakan semua yang dipikirkan jika itu akan menimbulkan gangguan bagi kemandirian hakim yang lain.

“Hakim harus lebih banyak mengungkapkan pemikirannya di dalam pertimbangan putusan, bukan di media sosial, atau di ruang publik lainnya, kecuali dalam kaitannya dengan kajian-kajian ilmiah di forum akademik,” beber Syarifuddin. (Dtk)

Baca juga:

***

Terima kasih telah membaca Inilahjambi.com. Cantumkan link berita ini bila Anda mengutip seluruh atau sebagian isi berita. Laporkan keluhan dan apresisasi Anda terkait konten kami ke email:inilahjambi@gmail.com

Tinggalkan Balasan

SOROTAN