Liput Pembalakan Liar di Jambi, Wartawati Kompas Diacungi Parang Dan Disandera dalam Gudang

Wartawan Diacungi Parang Dan Disandera dalam Gudang


Inilah Jambi – Aktivitas ilegal yang meliputi pembalakan kayu, tambang minyak dan emas masih marak dan kian marak saja di Jambi. Persekongkolan jahat para pelaku dengan berbagai pihak berwenang kian solid.

Tidak banyak wartawan di Jambi yang berani menembus jantung kegiatan untuk merekam secara langsung aktivitas ini demi sebuah reportase.

Bukan hal yang aneh kalau hanya segelintir jurnalis yang mau bersulit-sulit turun ke “belantara orang-orang jahat” ini, sebab reportase model begini membutuhkan nyali, ketenangan, kemerdekaan berpikir, bertindak, dan pasti pengalaman.

Harus disadari, berselisih dengan gerombolan ini mulai dari pucuk sampai ke akarnya, bisa jadi sama dengan menggadaikan nyawa sendiri. Dari sedikit jurnalis itu, wartawati Kompas Irma Tambunan adalah salah satunya.

Pengalaman dia dalam meliput aktivitas pembalakan liar di Jambi hingga batas Sumatera Selatan awal Maret 2019 lalu ditulis dan dimuat di kolom khusus Kompas.id pada 21 Juli 2019.

Catatan di balik berita pembalakan liar ini menarik disimak. Setidaknya sebagai pengetahuan bahwa kerja-kerja jurnalis di lapangan tidak seremeh seperti yang terbayangkan oleh siapa saja selama ini.

Baca juga:

Diacungi Parang hingga Disandera Para Pembalak Liar

Oleh Irma Tambunan

Mengungkap kejahatan lingkungan seperti pembalakan, perambahan, atau pertambangan liar begitu sarat risiko. Tak jarang nyawa menjadi taruhannya.

Maret lalu, saya meliput praktik pembalakan liar di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan. Hasil peliputan dimuat berturut-turut di harian Kompas selama sepekan. Pemberitaan berkelanjutan itu di satu sisi menuai respons positif. Tim aparat dikerahkan menindak.

Namun, ada pula pihak-pihak yang terganggu oleh pemberitaan. Para aktor pelaku menjadi berang karena aktivitasnya diganggu. Mereka tak ragu mengerahkan massa untuk bertindak.

Sebenarnya tak ada masalah dalam liputan ataupun pemberitaan itu. Semua berjalan lancar. Awalnya, saya menembus jantung penimbunan dan pelansiran kayu-kayu hasil tebangan yang diduga ilegal pada areal hak pengusahaan hutan (HPH) di Kabupaten Muaro Jambi, Sabtu (16/3/2019). Saya ditemani dua warga lokal yang menyamar sebagai pencari ikan.

Kami memastikan kayu-kayu yang keluar itu ilegal setelah beberapa waktu sebelumnya mengecek lokasi penebangannya. Lokasi itu pada areal HPH yang dibekukan izin rencana kerjanya oleh pemerintah empat tahun terakhir. Maka, mestinya tidak boleh ada aktivitas penebangan.

Namun, sepanjang perjalanan kami di atas perahu, tampaklah ribuan rakitan kayu curian yang melewati kanal HPH itu berkilo-kilo meter panjangnya hingga menembus sungai. Dari satu kanal ke kanal lain, kayu-kayu itu dilansir dengan alat berat.

Kami yakin, aktivitas ini tentulah bukan kelas kaleng-kaleng. Pengerahan alat berat membutuhkan modal besar. Rupiah yang didapatkan dari hasil pembalakan pastilah bernilai sepadan.

Di sepanjang perjalanan, tak satu pun pekerja kayu menaruh curiga pada kami. Menurut warga yang mengantar saya, aktivitas liar ini telah lama dibiarkan leluasa. Para pelaku merasa aman-aman saja. Mereka sibuk mengawal aliran kayu. Ada pula yang mengawasi operator alat berat bekerja.

Demi melihat pekerja yang tampak sibuk, saya mulai memotret seluruh aktivitas. Satu ketika, ada pekerja yang melihat kamera, namun dia cuek saja. Malah dia meminta saya memotretnya sewaktu bucket excavator terangkat menjinjing kayu. Seolah-olah ingin mempertunjukkan sirkus kayu di udara.

Selesai memotret, kami sempat bersenda gurau dengan sejumlah pekerja. Mereka menawarkan makanan, yang dengan halus kami tolak. Salah satu pekerja, perempuan setengah baya, kemudian membuatkan kami teh panas.

Pekerja itu mengatakan cukup lama bekerja di sana. Tugasnya menyiapkan logistik bagi para buruh kayu. Ia pun menceritakan keseharian aktivitas di lokasi itu, termasuk membeberkan siapa saja para pemilik kayunya, dari mana diambil, dan ke mana tujuannya.

”Bos kayunya segelintir orang saja. Kebanyakan masyarakat desa sinilah yang menjadi pekerja,” ujarnya.

Setelah minuman habis, kami pamit pulang. Untuk melengkapi temuan di lapangan, saya mengonfirmasi beberapa narasumber. Berita tentang pembalakan di jalur itu kemudian terbit pada pertengahan Maret 2019. Kelanjutan berita terus bergulir selama sepekan. Sampai di situ, semuanya masih baik-baik saja.

Tak lama setelah itu, saya dihubungi seorang teman. Sebut saja namanya Adi. Ia ingin mempertemukan saya dengan sebuah tim aparat dari pusat. ”Mereka mau tanya-tanya soal berita kemarin,” katanya.

Saya menyanggupi. Kami bertemu sore hari di sebuah kedai. Dalam pertemuan, tim ini meminta saya mengantar mereka masuk ke lokasi pelansiran kayu yang saya rekam dalam foto dan video. Foto itu dimuat di harian Kompas.

Mendengar itu, saya menolak dan menyilakan tim berangkat sendiri. Sebab, jika bersama saya, risiko bagi mereka akan lebih besar. Saya perkirakan pemberitaan di koran telah mengganggu ketenteraman sejumlah pihak. Berita itu mungkin juga telah diketahui masyarakat di sekitar lokasi.

Saya menyarankan kepada mereka untuk berkoordinasi dengan aparat di Jambi. Saran ditolak dengan alasan kedatangan mereka dirahasiakan. ”Kalau sampai bocor, temuan di lapangan bisa jadi nihil,” kata Adi.

Ia pun berusaha meyakinkan saya dengan sejumlah rencana. Kedatangan tim akan dibalut selayaknya kegiatan penelitian gambut. Tujuannya, untuk menghindari kecurigaan orang.

Namun, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, mereka sudah menyiapkan pengamanan. Akhirnya, saya tidak punya alasan lagi untuk menolak.

Setelah saya melapor kepada editor, kami berangkat keesokan paginya. Tim berjumlah empat orang termasuk saya. Perjalanan darat memakan waktu hampir dua jam menuju sebuah dermaga. Dari situ kami akan naik perahu untuk menyusuri sungai dan kanal.

Sejak awal, saya dilanda firasat tidak enak. Namun, saya coba menepisnya. Sebagai antisipasi, semua tanda pengenal dan kartu identitas diri, termasuk kartu pers, saya tinggalkan di rumah.

Saya pun berupaya menyamarkan penampilan. Kali ini saya berkacamata dan memakai hijab. Kacamata +1 saya pinjam dari suami, sedangkan hijab saya pinjam dari seorang warga di sekitar dermaga.

Sejak awal, saya dilanda firasat tidak enak. Namun, saya coba menepisnya. Sebagai antisipasi, semua tanda pengenal dan kartu identitas diri, termasuk kartu pers, saya tinggalkan di rumah.

Di dermaga itu kami menyewa sebuah perahu. Kami menyusuri sungai selama hampir dua jam. Perjalanan cukup lama karena laju perahu melawan arus sungai.

Di tengah perjalanan, kami mulai mendapati kayu-kayu liar terakit di tepi sungai. Namun, suasana kali ini berbeda. Orang-orang yang kami lalui menatap kami dengan pandangan curiga. Pandangan mereka membuat perasaan saya mulai tidak enak.

Saya pun mengingatkan Adi dan teman-temannya untuk berhati-hati. Jangan sampai terlihat memotret. Saat salah satu tengah memotret, yang lain berusaha mengalihkannya dengan mengambil sampel air gambut.

Akhirnya, tibalah kami di pintu masuk kanal perusahaan. Pemilik perahu sempat ragu untuk melanjutkan perjalanan.

Mereka berteriak sembari mengacung-acungkan parang. Perahu kami pun berhenti.

Namun, Adi terus memintanya maju. Saat itulah, sebuah perahu mesin mengejar kami dari belakang.

Ada lima atau enam pria di perahu itu. Mereka berteriak sembari mengacung-acungkan parang. Perahu kami pun berhenti.

Setelah berhasil mendekat, salah seorang pria berteriak setengah membentak. ”Kalian ini siapa? Dari mana? Dan mau apa ke sini?”

Teman saya berusaha menjelaskan bahwa kedatangannya untuk penelitian tentang gambut. Tidak ada maksud lain. Kami pun menunjukkan wadah-wadah sampel di dalam perahu.

Melihat itu, orang-orang yang semula curiga mulai ragu. Adi masih terus menjelaskan panjang lebar soal rangkaian penelitian gambutnya, seolah-olah betulan. Tampak penjelasannya cukup meyakinkan mereka. Warga akhirnya membiarkan kami lewat. ”Kalau sudah selesai mengambil sampel, segera pulang saja,” katanya.

Kami pun terus melaju ke arah lokasi penimbunan kayu. Di jalur ini, kami mendapati tumpukan kayu yang mengantre untuk dilansir. Adi dan timnya terkesima melihat seluruh aktivitas itu. Beberapa kali mereka berhasil sembunyi-sembunyi merekam gambar.

Tiba-tiba seorang perempuan setengah baya berteriak memanggil kami. Dari jauh saya mengenali, ibu itulah yang membuatkan teh hangat beberapa waktu lalu. Saya pun berjalan menjauhi ibu itu, sementara pemilik kapal dan kernetnya mendekat.

Dari kejauhan terdengar ibu itu bersuara keras. Tampak marah, ia menyebutkan soal kedatangan sejumlah orang ke lokasi itu beberapa waktu lalu, yang berbuntut berita di media.

Dalam hati saya berdoa. Semoga si ibu dan para pekerja di sana tidak mencermati kehadiran saya. Lalu saya bergegas turun ke kanal, lalu masuk ke perahu kami.

Adi dan kedua temannya dengan cepat membaca situasi. Mereka sepakat untuk segera pulang. Perahu diputar, kami pun mengarah keluar.

Mendekati jalur keluar itulah, dari kejauhan kami melihat 40 hingga 50 orang sudah berkumpul di batas kanal. Mereka mengacung-acungkan parang dan golok kepada kami. Pemilik perahu dikasih tanda untuk segera menepi.

Sesuatu hal buruk mungkin akan terjadi. Cepat-cepat saya selipkan telepon genggam di balik pakaian dalam.

Turun dari perahu, saya melihat seorang warga dengan ganas mencapit leher Adi, lalu menyeretnya masuk ke sebuah bangunan. Jaraknya sekitar 20 meter dari perahu. Beberapa orang lain turut mendorong tubuhnya. Saya pun digiring ke sana. Begitu juga dua teman yang lain, pemilik kapal, dan kernet.

Dalam gudang itu, massa berebut masuk. Mereka tampak lapar melahap kami. Salah satu warga yang tampaknya memimpin gerombolan itu memerintahkan teman-temannya menyita semua telepon genggam kami. Saat yang lain cepat-cepat menyerahkan, saya hanya mengangkat bahu sewaktu diminta.

”HP saya tinggal di mobil, Pak. Tidak berani saya bawa karena takut kecemplung sungai,” ujar saya.

Oleh karena tidak percaya, satu warga dengan tidak sopan menggeledah pakaian saya. Tidak berhasil mendapati HP, mereka membongkar tas saya. Di situ saya merasa ngeri sebab foto-foto pelansiran kayu dalam kamera belum dihapus. Dengan mudah mereka menemukan kamera itu. ”Ini dia pelakunya,” teriak salah satu warga.

Massa pun berdesakan. Mereka menyuruh saya menyalakan kamera itu. Untungnya saya tahu kamera itu punya sedikit masalah. Setelan baterainya agak longgar. ”Ayo cepat nyalakan kameranya,” teriak mereka tak sabar.

Sebelum menyalakan kamera, cepat-cepat saya melonggarkan baterai. Saya yakin mereka tidak mengerti apa tujuannya. Saat tombol ”on” digeser, kamera tidak menyala.

Saya memasang wajah kebingungan dan menjelaskan bahwa kamera itu belum sempat diperbaiki. Karena kesal, warga tadi langsung merampas kamera dan membawanya keluar gudang.

Kepada kami, si pemimpin massa menjelaskan alasan mereka menahan kami. Tidak lain terkait berita soal pembalakan kayu yang dimuat Kompas. Ia lalu menunjukkan foto-foto yang dimuat dalam berita. Benarlah, mereka menyimpan semua hasil pemberitaan kemarin.

”Dampak pemberitaan ini sangat besar pada masyarakat. Kami semua ketakutan. Padahal, selama ini kayu diambil hanya untuk sesuap nasi,” katanya.

Kami semua hanya bisa diam. ”Jadi, apakah kedatangan kalian juga untuk membuat berita? Saya ingatkan, jangan macam-macam di sini,” katanya.

Ia lalu memerintahkan rekannya membongkar seluruh isi tas tiga teman lain. Di dalam tas, mereka menemukan beberapa lembar peta kawasan hutan itu, lengkap dengan koordinat logpond dan jalur kanal. Si pemimpin kian curiga. ”Ini untuk apa,” ujarnya berang.

Warga lain pun mulai mendesakkan tubuh mereka. Saat kami makin terpojok, mereka menggerayangi isi pakaian anggota tim. Salah seorang tiba-tiba mendapati senjata api yang dibawa oleh anggota tim itu. Karena merasa terdesak identitasnya terungkap, teman itu pun berteriak keras dan meminta semua orang mundur.

Kepada massa, akhirnya ia menjelaskan bahwa mereka adalah tim aparat penegak hukum yang dikirim untuk mengecek lokasi. Kedatangan mereka hanya ditugasi untuk mengecek kebenaran soal berita di media. Lalu ia mengingatkan masyarakat jangan sampai bertindak anarkis.

Menyadari berhadapan dengan aparat, si pemimpin massa akhirnya meminta massa tenang. Mungkin mereka mengantisipasi agar tidak terjadi gesekan.

Namun, mereka mewanti-wanti tim untuk tidak menyiarkan temuan pada hari itu ke mana pun. Setelah terjebak di gudang sempit itu hampir dua jam, kami akhirnya dilepas.

Suara mesin perahu memecah heningnya malam menembus sungai. Perjalanan pulang terasa begitu panjang. Kami lebih banyak terdiam di atas perahu. Seperti mati rasa.

Saya tak mungkin menyesal menyanggupi permintaan tim aparat itu mengantar ke lokasi. Namun, peristiwa ini menjadi pengalaman berharga. Saya memetiknya agar ke depan lebih berhati-hati mengambil keputusan. Jangan abaikan insting. Keselamatan tetap yang utama.


 

Terima kasih telah membaca Inilahjambi.com. Cantumkan link berita ini bila Anda mengutip seluruh atau sebagian isi berita. Laporkan keluhan dan apresisasi Anda terkait konten kami ke email:inilahjambi@gmail.com
SOROTAN