Perihal Tulisan Buruk
Perihal Tulisan Buruk
A.S. Laksana
Steven Pinker mengajukan pertanyaan bagus: Kenapa kebanyakan tulisan buruk sekali mutunya?
Pinker adalah cendekiawan psikolinguistik dan kognitif dari Universitas Harvard. Ia menekuni bagaimana pikiran bekerja, bagaimana bahasa bekerja, dan bagaimana bahasa bekerja sebaik-baiknya untuk memikat pikiran manusia. “Tulisan yang baik dapat mengubah cara kita memahami dunia,” katanya.
Tulisan buruk tidak mengubah apa pun dan para penulis buruk biasanya tidak menyadari bahwa tulisan mereka buruk sekali–entah itu fiksi, puisi, atau esai.
Kita bisa mengatakan sambil lalu bahwa mereka menulis buruk karena tidak cakap menulis bagus. Namun penulis dan jurnalis The New Yorker Malcolm Gladwell memiliki formula khusus tentang kemahiran: latihan 10 ribu jam. Tiap-tiap orang perlu menjalani latihan 10 ribu jam untuk menjadi maestro di bidang apa pun yang ditekuninya. Ia menggemborkan “hukum 10 ribu jam” itu dalam bukunya Outliers, dengan merujuk hasil penelitian Karl Anders Ericsson, pada 1993, terhadap para pemain biolin di sekolah musik Berlin.
Hukum 10 ribu jam cepat memikat perhatian. Ia memberi kita patokan tentang berapa lama waktu latihan yang kita perlukan untuk menjadi maestro. Ericsson, yang dijadikan rujukan oleh Gladwell, buru-buru menyanggah:
“Gladwell keliru memahami hasil penelitian saya.”
Untuk memperjelas urusan 10 ribu jam ini, psikolog Angela Duckworth suatu hari menemui Ericsson dan menanyakannya langsung. Ia menuliskan petilan percakapan mereka di dalam bukunya Grit: The Power of Passion and Perseverance.
“Lihat, Profesor, saya joging kurang lebih satu jam tiap hari, beberapa hari seminggu, dan sudah melakukannya sejak umur saya delapan belas. Sudah ribuan jam saya berlari hingga sekarang, tetapi kelihatannya kemampuan lari saya tetap tidak memadai untuk bertanding di Olimpiade.”
“O, menarik,” jawab Ericsson. “Boleh saya mengajukan beberapa pertanyaan?”
“Silakan.”
“Apakah anda menetapkan tujuan spesifik dalam latihan anda setiap hari?”
“Agar sehat. Agar tubuh saya tidak melar.”
“Ah, ya. Tapi apakah anda memiliki target untuk, misalnya, meningkatkan kecepatan berlari atau menambah jarak tempuh? Maksud saya, apakah ada aspek khusus yang anda ingin tingkatkan dalam urusan lari?”
“Hmm…, saya rasa tidak.”
Setelah memastikan bahwa Angela tidak memiliki catatan rinci dan sistematis mengenai latihan larinya setiap hari, Ericsson mengatakan: “Saya yakin anda pasti tidak memiliki pelatih.”
Angela tertawa.
“Saya tahu,” kata Ericsson lagi, “anda tidak meningkat dalam urusan lari karena tidak melakukan latihan dengan tujuan spesifik (deliberate practice).”
Baca juga:
- Buya Hamka dan Pramoedya Ananta Toer, Damai Melalui Islam
- Sastra, Kritik Sastra, dan Orientasi Kelisanan
- Sastra, Media Cetak dan Online Oleh Nurul Fahmy
Orang bisa menghabiskan waktu 10 ribu jam, atau sepuluh tahun atau bahkan tiga puluh tahun, namun kemahirannya tidak meningkat secara signifikan. Misalnya, seorang pemain badminton kampungan sudah mulai memegang raket sejak umur sepuluh dan tetap menjadi pemain kampungan pada umur dua puluh lima.
Bagaimana cara mereka berlatih setiap hari, itulah yang membedakan para maestro dari gerombolan cacing pita atau anggota kerumunan.
Para juara melakukan latihan dengan tujuan spesifik. Para juara badminton tidak selalu memainkan badminton sebagai sebuah performansi tiap kali mereka memegang raket di lapangan. Mereka hanya berlatih servis, pukulan backhand, pukulan smash, ayunan kaki, permainan net, dan lain-lain sampai mahir dalam semua aspek. Mereka memberi perhatian pada bagian-bagian yang lemah dan berlatih sangat keras untuk mengatasi kelemahan-kelemahan itu.
Para petenis profesional juga tidak berlatih setiap hari dengan cara bermain tenis. Begitupun dengan pemain basket, penari, pelukis, pemain piano, dan sebagainya. Untuk menjadi maestro, mereka berlatih sangat keras pada aspek-aspek spesifik sampai mereka menguasai secara mahir seluruh aspek itu dan mampu menggunakannya dalam sebuah performansi.
Dan mereka memiliki pelatih yang mencatat perkembangan hasil latihan, memberi masukan, dan tahu bagaimana menggenjot aspek-aspek yang masih lemah untuk ditingkatkan.
Para penulis tidak berlatih setiap hari dengan cara seperti itu. Kebanyakan dari mereka bahkan tidak berlatih menulis.
Banyak orang menulis meskipun tidak memahami bagaimana cara menghasilkan kalimat yang bagus dan tidak memiliki kepedulian terhadap kalimat. Mereka menulis tanpa pengetahuan yang memadai tentang bagaimana menciptakan kalimat yang memiliki kekuatan untuk memikat pikiran orang.
Mereka hanya menulis dengan cara menuruti saran yang paling mudah diikuti: “Menulis ya menulis saja setiap hari.” Kurang lebih yang mereka lakukan setali tiga kepeng dengan pemain badminton yang bermain di kampung-kampung atau para pecatur yang bertanding setiap hari di gardu ronda.
Menulis adalah melukis dengan kalimat. Pelukis menggunakan cat dan kanvas untuk menciptakan realitas dan mentransformasikan ide di dalam benaknya menjadi bentuk kongkret di atas kanvas. Penulis menggunakan kalimat dan halaman-halaman kertas (dan/atau layar komputer) untuk tujuan yang sama: memperlihatkan kepada pembaca apa yang patut dilihat dan diberi perhatian.
Pelukis melatih diri secara keras dalam aspek-aspek spesifik untuk menjadi pelukis besar, penulis tidak tahu apa aspek-aspek spefisik di dalam urusan tulis-menulis dan, konsekuensinya, tidak tahu apa yang menjadi kelemahan mereka dan bagaimana memperbaikinya.
Para reporter menulis setiap hari dan bertahun-tahun kemudian kebanyakan dari mereka tetap menulis buruk. Mereka mungkin lebih lancar, tetapi mutu tulisan mereka tidak menunjukkan peningkatan berarti. Para pengamen memainkan gitar berjam-jam setiap hari dan mereka tidak menjadi musisi hebat. Saya berjalan kaki setiap hari, dari kamar tidur ke kamar mandi, mondar-mandir di halaman rumah, pergi dari rumah ke warung dan kembali ke rumah lagi, tetapi saya tidak menjadi atlet jalan kaki yang sanggup memenangi bahkan sekadar lomba jalan kaki antarkecamatan.
Jadi, saran menulis ya menulis saja sudah jelas tidak menghasilkan penulis bagus. Jika saran itu berhasil, tidak akan muncul pertanyaan di awal tulisan ini.
Masalah terbesar dalam penulisan adalah kita tidak mampu mengidentifikasi secara jelas apa aspek-aspek spesifik yang mendasari kemahiran menulis. Jika kita memahami aspek-aspeknya, kita bisa berlatih tiap hari untuk menjadikan diri menguasai kecakapan dalam semua aspek itu.
Kita bisa mengomentari bahwa sebuah tulisan tidak koheren atau penulisnya tidak mampu merumuskan masalah secara tajam. Itu umpan balik yang sifatnya sangat umum, tidak menjangkau detail. Lalu, apa latihan yang harus dilakukan oleh seorang penulis jika tulisannya tidak koheren dan perumusan masalahnya tidak tajam?
Saya tidak tahu apakah ada penulis yang setiap hari berlatih keras dalam urusan koherensi atau merumuskan masalah saja selama satu sampai dua tahun dengan ketekunan David Beckham berlatih tendangan bebas. Mungkin tidak ada juga penulis yang berlatih keras menciptakan metafora, atau membuat dialog, atau memfokuskan perhatian selama beberapa tahun untuk urusan diksi.
Jika ada, tentu sangat menarik untuk mencari tahu apa bentuk latihan yang dilakukannya dan bagaimana dia tahu bahwa dialog-dialognya sudah kuat, atau metaforanya sudah secemerlang matahari pagi, atau tokoh-tokoh dalam ceritanya sudah hidup dan sama gesitnya dengan tikus-tikus got.
Belum lagi urusan penyuntingan. Pada tingkat kalimat, seorang penulis harus mampu mengevaluasi hal-hal seperti kesalahan tatabahasa, ambiguitas semantik, kekeliruan referensi, dan berbagai kerancuan yang bisa menyesatkan pemahaman. Ia harus mampu memperbaiki kesalahan logika, membereskan kesalahan fakta, dan meluruskan inkonsistensi pemikiran. Masih ada lagi, pada jenis tulisan tertentu seorang penulis harus mempertimbangkan pembacanya, suara literernya, dan tingkat kerumitan tulisannya.
Penulis secara umum tidak melakukan latihan sadar, sebuah latihan yang memerlukan keuletan dan ketekunan untuk menguasai aspek-aspek spefisik, sebagaimana yang dilakukan oleh para atlet dan musisi dan seniman-seniman lain. Mereka sekadar menulis, lalu menulis lagi, lalu menulis lagi, persis dengan saya berjalan tiap hari dan tidak menjadi juara lomba jalan kaki.
Para penulis buruk menulis setiap hari dan tidak memahami bagaimana bahasa bekerja, sebab mereka tidak peduli terhadap bahasa dan tidak memiliki kepekaan terhadap diksi. Mereka tidak memedulikan apa yang oleh Pinker dirumuskan sebagai penggunaan kata-kata yang efektif untuk memikat pikiran manusia.
“Kata-kata terbaik,” katanya, “tidak hanya menyampaikan gagasan dalam cara yang lebih baik, tetapi juga menggemakannya dalam suara dan artikulasi yang kuat.”
Dengan kata lain, penulis yang baik tidak lahir karena mereka sekadar menulis tiap hari dan menjadi mahir setelah 10 ribu jam. Ia dengan sadar melatih diri, secara keras. Ia mencintai kalimat dan memiliki kepekaan terhadap bunyi dan irama yang lahir dari penggunaan kata-katanya. Ia memiliki gagasan dan bisa menyampaikannya dengan gaya–dengan kemahiran seorang maestro.*
*) Dimuat pertama kali di Beritagar, 29 Maret 2018