Wisata dan Pergeseran Nilai di Kerinci

Wisata dan Pergeseran Nilai di Kerinci

Oleh M. Ali Surakhman


Inilah Jambi – Saat Lebaran orang-orang berbondong pulang, dan berwisata ke kampung saya di Kerinci. Satu-satunya saudara kandung saya yang menetap di sana, malah memilih pergi dari sana. Kami berlebaran di rumah saya di rantau, duduk berdiskusi sambil melepas rindu.

“Kerinci Sekepal Tanah Sorga”, kita ikut membranding istilah itu yang diambil dari secarik kertas puisi Gazali Burhan Riodja yang terkubur lama dan tahun 1990-an kita angkat kembali. Namun Kerinci sekarang tak lebih dari “urban city” dengan geliat wisatanya, dan saat konsep wisata profit oriented, dan konsep yang tak bertajuk, bertema, hanya mengikuti gelinding bola salju, maka efeknyapun seperti bola salju yang kencang mengelinding kemudian cair tak berbentuk.

Kerinci yang terkenal akan kekuatan adatnya, etika, ikatan emosional, sekarang jauh bergeser. Adat, tradisi mulai menjadi simbol simbol saja, nilai-nilai dan buahnya digegoroti ulat dan membusuk. Tak ada lagi tradisi membawa rantang ke saudara, berkunjung bergilir ke rumah’rumah di larik.

Masyarakat Sekepal Tanah Sorga itu berubah layaknya masyarakat metropolis, semua diukur dengan uang, apathis, prestise dan gaya hidup dijadikan standar kesuksesan, padahal negeri ini pernah menjadi pabrik para kaum intelektual, tak hanya untuk lokal namun mancanegara, yang seharusnya bisa membuat masyarakat menjadi bijak.

Baca juga:

Lalu pertanyaannya kenapa?Jawabannya nilai-nilai tua itu sudah ditinggalkan, dan mereka berubah kiblat ke nilai-nilai modern, semua di ukur dengan “uang”. Semua orang butuh uang, namun jangan kebablasan, ada hal hal yang tak bisa diukur dan dibeli dengan uang.

Kita mendengar mau lewat saja di objek wisata mesti bayar mahal, belum lagi tarif parkirnya, ini problem setiap tahunnya, seharusnya pemerintah daerah, mesti bisa memecahkan persoalan ini.

Tak hanya itu permasalahan lahan, tanah, waris, sudah menjadi permasalahan klasik beberapa tahun ini. Tak ada lagi falsafah tua “Anak dipangku, keponakan dibimbing”, yang terjadi malah sebaliknya. Dahulu para tetua masih takut dan mensakralkan “Sumpah Karang Setio”, namun kini itu hanya pelengkap di acara kenduri pusako saja.

Tak mudah mengembalikan nilai-nilai tua tersebut, namun kalau dibiarkan maka tatanan masyarakat yang baik akan hancur.

 

Penulis adalah Penggiat Budaya


 

Terima kasih telah membaca Inilahjambi.com. Cantumkan link berita ini bila Anda mengutip seluruh atau sebagian isi berita. Laporkan keluhan dan apresisasi Anda terkait konten kami ke email:[email protected]
SOROTAN