Sastra, Kritik Sastra, dan Orientasi Kelisanan

Sebagaimana yang dituliskan Faruk bahwasanya karya sastra dibangun atas hubungan antara tanda dan makna, antara ekspresi dengan pikiran, antara aspek luar dengan aspek dalam. Pernyataan tersebut cukup menarik jika ditinjau kembali korelasinya dengan ulasan di atas perihal sifat kemenduaan sastra.

Dalam situasi ini, maka apa relasi teks dengan konteks sebagaimana yang dimaksudkan di atas bisa terhubung secara samar. Melalui kondisi keberadaan yang menjadi ciri dasarnya tersebut, karya sastra secara tegas sudah mengacu kepada suatu bentuk fakta yang hadir dalam upayanya menjelaskan kondisi kemanusiaan melalui aspek-aspek atau tanda kebahasaan di dalamnya. Sebagai fakta kemanusiaan, karya sastra adalah ekspresi dari kebutuhan tertentu manusia. Pada sisi yang lain, tanda dalam katra sastra secara lahiriah merupakan manifestasi dari simbol yang bisa dijelaskan sebagai fakta semiotik.

Dalam pemaparannya tentang fakta semiotik ini, Faruk menjelaskan konsep eksistensi ganda, yaitu sekaligus berada dalam dunia inderawi (empirik) dan dunia kesadaran (consciusness) yang nonempirik. Berdasarkan pengertian tersebut, aspek empirik karya sastra adalah tulisan atau bunyinya. Tulisan dan bunyi tersebut dapat dialami oleh indra manusia sehingga mampu menunjukkan ciri atau pola yang secara karakteristik bisa dikenali atau diklasifikasikan. Dapat dipahami bahwa aspek empirik ini adalah perwujudan jasmaniah dari karya sastra yang termaktub dalam dimensi tulisan atau bunyi.

Selanjutnya aspek nonempirik dari karya sastra adalah makna. Makna dihasilkan oleh sistem bahasa yang secara konvensional meresap ke dalam kesadaran manusia. Melalui kesadaran yang menaungi diri manusia ini, maka terciptalah proses pemaknaan dari medium bahasa atau bunyi yang empirik. Hubungan antara kesadaran dengan makna ini secara umum dipengaruhi oleh kesadaran individual dan kesadaran kolektif. Menempatkan makna dalam kesadaran individual, kita bisa mengacu kepada eksistensi pengarang. Sebagai seorang individu, pengarang memroduksi makna yang diseleksinya dari penggunaan sistem tanda bahasa.

Proses ini pada dasarnya hendak menunjukkan bahwa seorang pengarang sebagai individu memiliki karakteristik yang unik dalam menghasilkan karya. Formulasi serta wujud dari karya tersebut (secara umum) bisa dibedakan dengan ciri-ciri yang melekat kepadanya.

Pengaruh berikutnya adalah kesadaran kolektif, merupakan sistem konvensi yang bernaung dalam konsep pikiran obyektif dari suatu komunitas atau kelompok pengguna sistem kebahasaan tertentu. Sistem konvensi tersebut mampu mengakomodir interaksi antara masing-masing anggota masyarakatnya. Semacam kesepakatan bersama telah menaungi dan mengikat keberadaan masing-masing anggota satu sama lain untuk berinteraksi melalui perangkat konvensi yang sama.

Kesadaran kolektif dengan demikian menuntut pengetahuan atau wacana tentang aspek-aspek yang termaktub dalam sistem konvensi di masyarakat, misalnya kebahasaan, kebudayaan, kesastraan, dan juga kesadaran individual itu sendiri. Sampai di sini, bisa disimpulkan bahwa fakta semiotik yang diuraikan di atas mencoba menegaskan kondisi karya sastra sebagai sistem tanda yang membangun makna melalui sistem kesadaran (bahasa dan kebudayaan) yang digunakan masyarakatnya. Melalui kondisi yang demikian, perlu juga dicermati bahwa karya sastra tidak hadir sebatas untuk dirinya sendiri atau sekadar membangun makna itu sendiri. Sebagai suatu fakta kemanusiaan karya sastra merupakan struktur yang berarti (significant structure) .

Struktur dalam konteks di sini berupa relasi yang menghubungkan antara manusia dengan dunianya, sebagai suatu ikatan yang tidak bisa terpisah dengan realitas yang hadir dalam kehidupan. Karya sastra menjadi penting untuk dipahami, sebab melalui karya sastra pembaca bisa menemukan bermacam kondisi dan tujuan yang muncul sebagai bayangan dunia. Citra dan ekspresi yang termaktub dalam wujud kelompok-kelompok masyarakat (norma, aturan, adat, atau kebudayaan) inilah yang menjadi fokus utama dalam fakta kemanusiaan. Dalam posisi ini, subjek karya sastra bukanlah individu, melainkan kelompok. Berdasarkan uraian di atas, kodrat keberadaan karya sastra didukung oleh fakta semiotik dan fakta kemanusiaan, dimana kedua fakta tersebut saling memberikan kontribusi relasional sebagai suatu sistem epistemologis. Karya sastra dengan demikian bisa ditinjau sebagai bentuk yang otonom (tekstual) sekaligus terhubung dengan ruang dan waktu tertentu dalam kebudayaan masyarakatnya (kontekstual).

Selanjutnya: Fenomena Kelisanan, Keberaksaraan, dan Kritik Sastra

Terima kasih telah membaca Inilahjambi.com. Cantumkan link berita ini bila Anda mengutip seluruh atau sebagian isi berita. Laporkan keluhan dan apresisasi Anda terkait konten kami ke email:[email protected]

Tinggalkan Balasan

SOROTAN