Sastra, Kritik Sastra, dan Orientasi Kelisanan

Membicarakan kritik sastra dalam dimensi akademik, kita perlu menilik ulang basis akademik dari mode pengajaran sastra yang ada. Suatu ketika penulis pernah berbicara dengan Joko Pinurbo tentang fenomena kritik sastra, penelitian sastra, dan tugas akhir mahasiswa dalam ruang lingkup akademik. Sebagai seorang penyair Indonesia modern, karya-karya puisi Joko Pinurbo sudah banyak melahirkan sarjana sastra dari berbagai kampus di seluruh Indonesia. Beberapa hal yang cukup menggelisahkan dari pembicaraan tersebut adalah mayoritas (skripsi) mahasiswa yang pernah meneliti karya-karya puisinya, merepotkan.

Betapa tidak, ketika melakukan penelitian, para mahasiswa tersebut membuat sejumlah pertanyaan atas sejumlah data (fenomena) yang hadir dalam karya-karya puisi Joko Pinurbo. Pertanyaan tersebut alih-alih diserahkan ke responden (dalam hal ini jika menggunakan pendekatan resepsi, misalnya), justru ditujukan ke penyairnya. Dalam kondisi ini, penyair menjadi objek sekaligus subjek yang melampaui teksnya. Lebih mencengangkan lagi adalah pertanyaan yang sangat klise dan menyedihkan, misalkan apa makna puisi ini? atau apakah maksud dari metafor ini? dan seterusnya.

Berdasarkan fenomena di atas, kita bisa menduga ada banyak kemungkinan yang menjadi penyebab terjadinya kondisi tersebut. Sebut saja ada permasalahan yang terjadi dengan mode pembelajaran dan pengajaran sastra secara akademik. Orientasi keilmuan yang diberikan dalam kuliah sastra belum sepenuhnya menjawab kemampuan mahasiswa secara empirik maupun konseptual dalam melakukan analisis. Kemungkinan lain, bahwa mahasiswa sastra tidak sepenuhnya mengerti teori, metode, dan juga hakekat dari karya sastra. Atau bisa juga bahwa mahasiswa lebih percaya jika menanyakan langsung ke pengarangnya sebagai suatu kepastian yang sah, baku, terpercaya, dan seterusnya.

Kemungkinan terakhir tersebut menunjukkan orientasi kelisanan yang memengaruhi daya pikir kritis mahasiswa sebagai seorang peneliti dalam wilayah akademik. Persepsi lain yang mungkin muncul dan menjadi problematika mendasar adalah minimnya bentuk-bentuk pengembangan teori, metode, filsafat, maupun kebaruan wacana dalam mengkaji karya sastra. Sebagaimana yang sudah diulas di atas, bahwa salah satu kodrat keberadaan karya sastra adalah fakta kemanusiaan. Fakta kemanusiaan ini bisa dipahami sebagai relasi-relasi yang berbasis pada kondisi sosiologis (ekstratekstual) sebagai wujud dari keterhubungannya dengan perkembangan kebudayaan. Perkembangan kebudayaan yang pesat dan masif di era multimedia ini pun menuntut kepekaan dan partisipasi atas kemungkinan sensibilitas-sensibilitas baru yang lahir dalam karya sastra Indonesia. Kenyataan tersebut semestinya tidak membuat para akademisi untuk mandeg dan merasa mapan dengan capaian keilmuan akademisnya, melainkan justru terus meningkatkan kompetensi wacana teori dan metode keilmuannya.

Kasus di atas merupakan bukti bahwa kajian atas kesastraan di wilayah mahasiswa belum memberikan satu progresivitas yang cemerlang. Asumsi-asumsi yang menjadi kendala tersebut secara umum bisa diminimalisir secara berkelanjutan, jika keilmuan sastra diajarkan secara kompatibel di wilayah akademik, mengikuti perkembangan wacana lokal maupun global, dan terus-menerus bersinergi secara empirik dengan realitas di masyarakat. Bersinergi bisa dipahami sebagai adanya keberlangsungan atau keterhubungan hasil penelitian maupun kajian tersebut dengan peneliti yang sudah pernah melakukan kajian serupa atau objek yang ditelitinya.

Dalam ruang lingkup Jambi, secara akademik bisa kita telusuri bahwa ada ada tiga kampus besar dengan basis keilmuan bahasa dan sastra serta pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Kampus sebagai pengemban kajian keilmuan secara akademik memiliki tanggung jawab nyata dalam melihat potensi literasi di Jambi. Betapa tidak, banyaknya hasil karya sastra dari para pengarang lokal, baik yang berbasis tradisi lisan maupun modern, dari yang individu hingga antologi sudah menyemarakkan inventarisasi kesastraan Jambi. Kampus sebagai basis pondasi keilmuan sastra dituntut harus terus-menerus bersinergi dengan perkembangan pengetahuan mutakhir. Selain itu, harus ada habitus yang masif untuk membentuk tradisi keilmuan melalui pengembangan kajian-kajian kesusastraan yang ada, diskusi-diskusi, dan juga seminar kesastraan.

Kendati demikian, yang cukup mencengangkan adalah kajian-kajian serta diskusi-diskusi yang berbasis pada kritik sastra minim dilakukan. Bisa dikatakan hanya momentum saja. Faktor yang tidak kalah penting adalah ruang-ruang apresiasi kritik sastra atau ulasan, di media (dalam hal ini koran) tidak ada. Kampus belum memberikan satu ruang terbuka yang konsisten dalam diskusi atau kajian karya secara intens, kecuali tugas akhir mahasiswa yang menghuni rak-rak perpustakaan berdebu. Ruang sebagai medium membangun tradisi kritik sastra di Jambi bisa dikatakan belum tersedia secara nyata, sehingga habitus ini menjadi kebiasaan yang berlarut-larut dan selanjutnya dianggap sebagai kebenaran. Minimnya apresiasi kritik sastra yang ada, secara tidak langsung menjadikan kritik sastra hanya sebatas bayang-bayang semu dari karya sastra dan pengarangnya.

Faktor lain yang tidak kalah menarik adalah fenomena-fenomena pergelaran seperti perlombaan karya sastra. Perlombaan-perlombaan sastra yang secara momentum ini secara kreatif mendukung penciptaan dan imajinasi dari masyarakat sastra Jambi, namun pada kenyataannya jika tidak diimbangi dengan evaluasi, analisis, maupun kritik justru menjauhkan apa yang menjadi tujuan dari budaya literasi, yaitu melek aksara. Kenapa demikian?

Realitas ini menunjukkan bahwa pola-pola pertemuan, obrolan, atau pergelaran yang secara khusus mempertemukan antara pengarang dengan masyarakat, dengan para akademisi, mahasiswa, maupun khalayak umum lainnya tidak lebih sebagai sebuah ritual kelisanan yang mencoba mengikat, menyatukan, menentramkan. Bukan sebagai ruang diskursif yang secara kritis meninjau kembali isu atau perkembangan kesastraan Jambi secara akademik maupun kreatif. Misalkan saja lomba dengan mendatangkan juri seorang sastrawan populer, atau pergelaran karya dari seorang sastrawan ternama. Fenomena tersebut lebih sebagai bentuk interaksional antara penonton dengan idola-idola mereka, sebuah konsekuensi nyata berjumpa dengan sastrawan. Kondisi yang demikian juga menjadi satu faktor yang secara hegemonik memengaruhi fenomena kritik sastra di Jambi. Kritik sastra diperlukan untuk mengukur dan menilai seberapa signifikan perkembangan serta kemajuan sastra yang dicapai. Apabila kondisi yang demikian tidak seimbang, yaitu banyaknya karya sastra yang muncul dalam periode tertentu tanpa ada apresiasi kritis khususnya dari lingkungan akademisi, maka kita sedang mengulang kembali orientasi kelisanan.

Sedikit menyitir kata-kata Chairil Anwar, “yang tidak menulis karya sastra tidak boleh ambil bagian”. Konsekuensi tersebut secara dominan memberikan orientasi bahwa mereka yang menulis (punya karya) lebih penting dari isi yang terkandung dalam karya tersebut. Berkarya dengan harapan melegitimasi diri sebagai pengarang atau sastrawan, untuk memeroleh posisi di panggung atau forum secara dominan. Karya sastra dalam hal ini berfungsi sebagai artefak yang bersifat administratif, isi maupun substansinya di luar tanggung jawab penulis. Barangkali demikian.

Jambi, 23 Agustus 2016

Penulis adalah Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jambi

Terima kasih telah membaca Inilahjambi.com. Cantumkan link berita ini bila Anda mengutip seluruh atau sebagian isi berita. Laporkan keluhan dan apresisasi Anda terkait konten kami ke email:[email protected]

Tinggalkan Balasan

SOROTAN